Jumat, 23 Agustus 2013

Hukum pidana internasional

diposkan oleh : Roy R. Pangkey, SH.
mendefinisikan suatu obyek, termasuk hukum dan pelbagai cabang serta sub cabangnya merupakan pekerjaan yang gampang-gamoang sukar. dikatakan gampang karena obyek itu sendri demikian mudah untuk dikenali meskipun hanya pada sisi luarnya saja. dikatakan sukar, sebab substansi dari obyek yang didefinisikan seringkali sukar untuk dipahami atau pemahaman atas obyeknya itu seringkali tidak utuh atau bulat, tetapi dipahami hanya sebagian-sebagian saja. oleh karena itu, dapat dimengerti, bahwa definisi dari para sarjana tentang suatu obyek bisa berbeda-beda antara satu dengan lainnya. namun karena adanya kebutuhan untuk mendefinisikannya, mau tidak mau pendefinisiannya itu harus dilakukan, terlepas dari kekurangan atau ketidak sempurnaannya.
Demikian pula halnya dengan pendefinisian hukum pidana internasional itu sendiri, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. dalam rangka untuk mengerti dan memahami hukum internasional, mau tidak mau pendefinisian harus dilakukan. dalam hal ini, berlaku suatu adagium, bahwa adanya suatu definisi dari obyek yang akan dipelajari betapapun tidak sempurnanya, masih lebih baik daripada tidak ada definisi sama sekali. secara ringkas, hukum pidana internasional dapat didefinbisikan sebagai berikut.hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional.
Definisi ini tentulah sangat singkat dan umum  sehingga belum menggambarkan tentang apa sebenarnya hukum pidana internasional itu. meskipun definisi ini masih sangat singkat dan umum, namun sudah menggambarkan secara singkat tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional. ada dua hal yang secara eksplisit dapat ditemukan dalam definisi ini.
  1. hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidaj atau asas-asas hukum.
  2. obyek yang diaturnya adalah tentang kejahatan atau tindak pidana internasional.
disamping dua hal yang eksplisit, masih ada lagi hal yang secara implisit terkandung didalamnya yang pada umunya merupakan hal yang sudah biasa dalam suatu ilmu hukum, tetapi tidak dimunculkan didalamnya yakni, tentang subyek-subyek hukum dan apa tujuannya. tegasnya, siapakah yang merupakan subyek dari hukum internasional itu dan tujuan apa yang dikehendaki atau diwujudkannya.
atas dasar itu  maka dapatlah dirumuskan definisi yang lebih lengkap tentang hukum pidana internasional, sebagai berikut:
hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dari asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subyek-subyek hukumnya, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
berdasarkan definisi ini dapatlah ditarik adanya 4 unsur yang secara terpadu atau saling kait antara satu dengan lainnya, yaitu:
  1. hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum,;
  2. hal atau obyek yang diaturnya, yaitu kejahatan atau tindak pidana internasional;
  3. subyek-subyek hukumnya, yaitu, pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau tindak pidana internasional;
  4. tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh hukum pidana internasional itu sendiri.
SEJARAH
Era Abad 16 Masehi
Pada era Kerajaan Romawi dibawah Kaisar Justinianus, dimana dengan kekuatan undang-undang, Justinianus telah memberikan dukungan perdamaian ke seluruh Kerajaan Romawi termasuk jajahanya. Peraturan tentang perang diperjelas dan harus dilandaskan pada sebab yang layak dan benar, diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku dan dilaksanakan dengan cara cara yang benar. Pengaturan pengaturan tersebut berasal dari pengajaran hukum yang diberikan oleh ahli-ahli hukum seperti Cicero dan St Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian sebagai kejahatan internasional
Era Pasca Perang Salib
Perkembangan tindak pidana internasional setelah perang salib diawali dengan munculnya tindakan pembajakan di laut, yang dipandang sebagai musuh semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang dianggap sangat penting pada masa itu, namun demikian perang tetap merupakan tindakan yang dipandang tidak layak dan masih dipersoalkan terutama dikalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju pada masa itu.
Era Francisco de Vittoria 1480-1546
Era penjajahan disertai dengan penyebarluasan agama Kristen dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman telah berkecamuk terutama yang telah dilakukan oleh Kerajaan Spanyol terhadap penduduk pribumi Indian, pada masa itu munculah seorang professor theologia, Francisco de Vittoria yang memperingatkan kerajaan bahwa ancaman perang dan peperangan tidak dapat dibenakan dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan dan kemenangan yang bersifat pribadi sekalipun dengan alasan untuk self defence, maka kerugian atau kekerasan sedapat-dapatnya diperkecil, Pandangan dari Vittoria ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi perkembangan hukum hukum pidana internasional pada masa yang akan datang
Era Abad 16-18 ,pakar hukum Alberto Gentili, Francisco Suares, Samuel Pufendorf dan Emerich de vattel dan Era Hugo de Groot, 1625
Perkembangan pesat tentang masalah perang di dalam sejarah hukum internasional terjadi pada abad 16-18 ketika penulis-penulis terkenal seperti, Alberto Gentili, Francisco Suarez, Samuel dan Emerich de Vattel telah membahas dan mencari dasar-dasar hukum suatu peperangan. Namun seorang tokoh yang terkenal pada masa itu adalah seorang ahli hukum Belanda, Hugo Grotius yang telah menulis dan menerbitkan sebuah treatise “ the Law of War and Peace in The Tree Books” pada tahun 1625
Pasal 227 Diktat Verssailles tidak dipatuhi
Perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I, ternyata dalam praktek hukum Internasional tedak berhasil melaksanakan ketentuan pasal 227 yang menetapkan antara lain penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan perang
Era 1920
Pada masa ini telah tampak adanya upaya pembentukan mahkamah pidana internasional terutama setelah terbentuknya liga bangsa-bangsa, upaya ini berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka antara lain Vespasien Pella, Megalos Ciloyanni dan Rafael. Dukungan atas upaya tersebut juga berdatangan dari perkumpulan masyarakat international
Liga Bangsa-Bangsa, 1927
Liga bangsa-bangsa telah membuka era baru dalam sejarah hukum pidana internasional dengan menetapkan bahwa perang agresi atau a war of aggression merupakan internasional crime, bahkan pernyataan LBB tersebut merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang hukum pidana internasional. Namun demikian pada saat itu pembentukan suatu Mahkamah Internasional yang dapat menetapkan telah terjadinya pelanggaran atas kodifikasi tersebut masih belum secara serius diperbincagkan.
Era Pasca Perang Dunia II
Perang Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani di antara Negara anggota liga bangsa-bangsa. Pelanggaran pelanggaran tersebut adalah dalam bentuk kekejaman yang tiada taranya serta pelanggaran atas hukum perang yang tiada bandingnya oleh pihak tentara jerman dan sekutunya, kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untk mengajukan kembali gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional. Profesor Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan bahwa pembentukan mahkamah itu sangat penti untuk mengadili penjahat perang dan sekaligus membawa akibat penting terhadap perbaikan perbaikan di dalam hubungan internasional.
Nuremberg Trial 1946 (Nazi Jerman)
Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia kedua dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya dikota Danzig litzkrieg, pada Tahun 1940, Hitle rmenaklukkan Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia dan Perancis. Tahun tersebut merupakan tahun kemenagan NaziJerman. Dalam waktu yang bersamaan dengan perang dunia kedua, bahkan jauh sebelumnya, Hitle rtelah melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi hamper diseluruh daratan Eropa. Genosida yang dilakukan oleh Nazi Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah holocaust. Secara harafiah ‘holocaust’ berart ideskripsi genosida yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas diEropa dan Afrika Utara selama perang dunia kedua oleh Nazi Jerman
PBB Menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai delicta juris gentium
Pada tahun 1947 masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional diserahkan kepada Internasioanal law Commision, yang terdiri dari kelompok ahli hukum terkemuka dari seluruh Negara , yang dibentuk oleh PBB dan bertugas menyusun suatu kodifikasi hukum internasional, bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masayarakat internasional melalui PBB telah sepakat dan menempatkan kejahatan-kejahatan yang dilakaukan semasa peperangan sebagai kejahatan yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, kejahatan-kejahatan itu antara lain agresi, kejahatan perang, pembasmian etnis tertentu, pembajakan laut dll.
Resolusi PBB, 21 November 1947
Bahwa sampai dengan awal abad ke-20 hukum pidana internasional belum memasyarakat dikalangan pakar-pakar hukum di Negara yang menganut system hukum common law.
Pengakuan secara internasional terhadap pentingnya internasional criminal law pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan oleh Sidang Umum Perserikatan bangsa-bangsa tanggal 21 November 1947, resolusi menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional. Era Tokyo Trial 1948.Tanggal 23 Desember 1948, berdasarkan keputusan pengadilan internasional di Tokyo, Jepang, tujuh orang pemimpin negara ini pada era Perang Dunia II, menjalani hukuman mati. Pengadilan di Jepang ini merupakan lanjutan dari pengadilan Nurenberg Jerman yang dilakukan untuk mengadili para penjahat perang. Sebanyak 25 orang pejabat Jepang diadili dan 18 di antaranya dijatuhi hukuman penjara. Hideki Toyo, Perdana Menteri Jepang pada era PD II adalah pejabat tertinggi yang diadili di pengadilan internasional Jepang itu dan dijatuhi hukuman mati. Tuduhan yang dinisbatkan kepada para pejabat dan perwira Jepang tersebut adalah, membunuh, menyiksa tawanan yang sakit dan tawanan sipil, menjalankan kerja paksa, merampok barang-barang milik umum dan pribadi, menghancurkan kota-kota dan pedesaan tanpa alasan militer, melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kejahatan barbarisme lainnya terhadap warga sipil di negara-negara yang diduduki Jepang selama PD II.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar