Roy R. Pangkey
ILMU HUKUM
Kamis, 03 September 2020
Minggu, 26 Februari 2017
AHOK
"Hukum bukan Politik"
Menurut dan pendapat hukum saya terhadap polemik diaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyebutkan: "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Dihubungkan dengan kasus Ahok yang masih dalam tahap PERSIDANGAN didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara atau didakwa dengan Pasal 156 a soal Penodaan Agama yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara dan masih dalam proses pemeriksaan saksi belum terdapat putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Belum terdapat Putusan yang berkekuatan hukum tetap jelas seseorang belum bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana atau sebaliknya bisa saja dalam putusan hakim menyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 156 KUHP atau 156a KUHP artinya Bebas menurut hukum.
Dengan demikian Ahok jelas masih berdasar asas praduga tak bersalah atau bahkan ancaman '5 tahun' tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda pendapat dengan Prof Mahfud MD (mantan ketua MK) yang apabila sudah menjadi terdakwa maka kepala daerah harus dinonaktifkan.
Haruslah kita tafsirkan secara yuridis yang termuat dalam pasal 83 UU Pemda, dikatakan paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk dikarenakan kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan atau yang dilakukan terdakwa tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah perkara Ahok dapat memecah belah NKRI ? Haruslah arif dan bijaksana dalam penafsiran yang dalam posisi NETRAL bahwa Ahok belum dinyatakan bersalah apabila belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
"Pasal tersebut sudah menyatakan secara spesifik untuk hal-hal tersebut, bahwa korupsi berapapun ancaman hukumannya akan diberhentikan sementara. Sama juga dengan tindak pidana terorisme, makar dan kejahatan terhadap NKRI dan jika pasal 83 UU Pemda itu diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI dan yang jelas Ahok bukan dalam perkara korupsi, makar dan terorisme ataupun yang bisa memecah belah NKRI.
Rabu, 08 Juni 2016
PERSYARATAN MENJADI ADVOKAT
PERSYARATAN MENJADI ADVOKAT
Advokat merupakan profesi terhormat "Officium Nobile" dan orang yang bertugas memberi jasa hukum baik didalam pengadilan maupun diluar pengadilan sesuai keahlihannya. bertindak dan atas nama serta mendampingi ataupun mewakili seseorang maupun badan hukum dalam hal suatu perkara disidang pengadilan maupun diluar sidang pengadilan.
Sebelum UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat disahkan maka Advokat biasa dikenal dengan sebutan Pengacara, Kuasa Hukum, Konsultan Hukum.
Menjadi Advokat tidaklah muda harus mengikuti berbagai tahapan yang menurut hemat saya butuh waktu lama untuk menjadi Advokat dan itupun harus lulus dari tahapan pertama sampai Advokat bisa mendirikan Kantor Bantuan Hukum.
berikut ini tahapan-tahapan ketika seseorang diangkat Advokat :
1. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”);
2. Mengikuti Ujian Profesi Advokat (“UPA”);
3. Mengikuti magang di kantor advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus-menerus di kantor advokat;
4. Pengangkatan dan Sumpah Advokat.
Empat tahapan ini memerlukan waktu yang lama bertahun-tahun untuk mewujudkan impian menjadi Advokat dan itupun kalau lulus ujian.
I. PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat)
PKPA dilaksanakan oleh organisasi advokat. Yang dapat mengikuti PKPA adalah sarjana yang berlatar belakang/lulusan (lihat penjelasan Pasal 2 ayat [1] UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat):
1. Fakultas Hukum;
2. Fakultas Syariah;
3. Perguruan Tinggi Hukum Militer; atau
4. Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Persyaratan calon peserta PKPA (lihat Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Peradi No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat):
a. Menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi;
b. Menyerahkan 1 (satu) lembar fotokopi ijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan yang telah dilegalisir;
c. Menyerahkan 3 (tiga) lembar foto berwarna ukuran 4x6;
d. Membayar biaya yang telah ditetapkan untuk mengikuti PKPA, yang dibuktikan dengan fotokopi bukti pembayaran;
e. Mematuhi tata tertib belajar;
f. Memenuhi ketentuan kehadiran sekurang-kurangnya 80% (delapan puluh persen) dari seluruh sesi PKPA.
Jika sudah memenuhi persyaratan mengikuti PKPA maka Organisasi Advokat
PERADI memiliki tanggung jawab dalam memberikan materi-materi Dalam pendidikan PKPA para peserta diberikan materi-materi berkaitan dengan ilmu hukum itu sendiri sesuai jangka waktu yang ditentukan panitia PKPA.
Sertifikat PKPA
Apabila
peserta telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas,
maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat oleh penyelenggara
PKPA (lihat Pasal 11 Peraturan Peradi No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat).
II. UPA
Setelah
mengikuti PKPA, calon advokat harus mengikuti UPA yang dilaksanakan
oleh organisasi advokat. Dalam UPA yang dilaksanakan oleh Perhimpunan
Advokat Indonesia (“Peradi”) ditentukan bahwa yang dapat mengikuti UPA
adalah pihak-pihak yang telah mengikuti PKPA yang diselenggarakan
perguruan tinggi atau institusi lain yang mendapat persetujuan dari
PERADI.
Persyaratan umum mengikuti UPA:
1. Warga Negara Indonesia;
2. Mengisi Formulir pendaftaran, dengan melampirkan:
a. Fotokopi KTP;
b. Fotokopi Bukti Setor Bank biaya ujian advokat;
c. Pas foto berwarna 3 X 4 = 4 lembar;
d. Fotokopi Ijasah (S1) berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh perguruan tinggi yang mengeluarkannya;
e. Fotokopi Sertifikat pendidikan khusus profesi advokat.
Peserta yang lulus UPA akan menerima sertifikat lulus UPA dari organisasi advokat.
III. MAGANG
Untuk
dapat diangkat menjadi advokat, seorang calon advokat harus mengikuti
magang di kantor advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara
terus-menerus di kantor advokat. Magang tidak harus dilakukan pada satu
kantor advokat, yang penting adalah magang tersebut dilakukan secara
terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun (lihat Pasal 3 ayat [1] huruf g UU Advokat).
Persyaratan umum calon advokat magang
Calon
Advokat yang hendak menjalani magang wajib mengajukan permohonan magang
kepada Kantor Advokat yang memenuhi persyaratan dengan syarat-syarat
sebagai berikut (lihat Pasal 5 Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat):
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertempat tinggal di Indonesia;
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d. Lulusan
pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”);
e. Telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh PERADI dan telah lulus Ujian Advokat.
Dokumen-dokumen yang harus diserahkan
Berikut adalah dokumen-dokumen yang harus diserahkan ke Peradi dalam rangka memenuhi prasyarat magang calon advokat:
a. surat pernyataan Kantor Advokat
b. Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang
c. Fotokopi KTP calon Advokat magang
d. Pas foto berwarna (berlatar belakang warna biru) dari calon advokat ukuran 2x3 dan 3x4 masing-masing sebanyak 3 (tiga) lembar
e. Surat pernyataan tidak berstatus pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI atau Kepolisian RI atau pejabat negara
f. Fotokopi ijazah pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh perguruan tinggi hukum yang mengeluarkannya
g. Fotokopi sertifikat Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Peradi
h. Fotokopi sertifikat kelulusan Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Peradi
i. Fotokopi kartu tanda pengenal advokat (KTPA) pimpinan kantor advokat dan advokat pendamping
j. Surat keterangan dari kantor advokat
k. Laporan
penanganan perkara bagi calon advokat yang telah bekerja dan telah ikut
membantu penanganan sedikitnya 3 (tiga) perkara pidana dan 6 (enam)
perkara perdata dari advokat pendamping
l. Surat
keterangan honorarium/slip gaji/bukti pemotongan PPh Pasal 21 atau
kartu Jamsostek dari kantor advokat atau surat keterangan pengganti
tidak mendapatkan gaji.
Peradi
akan mengeluarkan Izin Sementara Praktik Advokat segera setelah
diterimanya Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang dari Kantor Advokat
(lihat Pasal 7A Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat).
Laporan sebagaimana disebut di atas harus pula disertai dengan pas foto
berwarna Calon Advokat (lebih disukai yang berlatar belakang biru)
berukuran 2x3 sebanyak 3 lembar.
Kewajiban calon advokat magang
Berikut ini adalah hal-hal yang wajib dipenuhi calon advokat magang selama melaksanakan magang di kantor advokat (lihat Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat):
1. Selama
masa magang (2 tahun), Calon Advokat harus membuat sedikitnya 3 (tiga)
laporan persidangan (Laporan Sidang) perkara pidana yang bukan merupakan
perkara sumir dan 6 (enam) Laporan Sidang perkara perdata, dengan
ketentuan;
a. Laporan-laporan
Sidang tersebut adalah laporan atas setiap sidang yang dimulai pada
sidang pertama sampai dengan adanya putusan atas masing-masing perkara
dimaksud.
b. Perkara-perkara
dimaksud tidak harus merupakan perkara-perkara yang ditangani oleh
Kantor Advokat tempat Calon Advokat melakukan magang.
2. Selama
masa magang, calon advokat dapat diberikan pembimbingan, pelatihan, dan
kesempatan praktik di bidang lainnya kepada Calon Advokat, antara lain:
a. Berpartisipasi dalam suatu pekerjaan kasus atau proyek, baik di bidang litigasi maupun non-litigasi;
b. Melakukan riset hukum di dalam maupun di luar Kantor Advokat;
c. Menyusun
konsep, laporan tentang pekerjaan yang dilakukannya berupa memo,
minuta, korespondensi e-mail, perjanjian-perjanjian, dan dokumen hukum
lainnya;
d. Menerjemahkan peraturan, memo, artikel dari bahasa Indonesia ke bahasa asing ataupun sebaliknya; dan/atau
e. Menganalisa perjanjian atau kontrak.
Hak-hak calon advokat magang
Calon advokat yang melaksanakan magang di kantor advokat memiliki hak-hak sebagai berikut (lihat Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan
Peradi No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat
dan Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk
Calon Advokat):
1. Berhak didampingi oleh advokat pendamping selama masa magang di kantor advokat;
2. berhak tidak dimintai imbalan oleh kantor advokat tempat melakukan magang;
3. berhak diberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik;
4. berhak menerima Izin Sementara Praktik Advokat dari Peradi sesuai ketentuan;
5. berhak diikutsertakan di dalam surat kuasa, dengan syarat bahwa di dalam surat kuasa tersebut, terdapat Advokat Pendamping;
6. di
akhir masa magang, calon advokat berhak mendapatkan Surat Keterangan
Magang dari kantor advokat sebagai bukti bahwa Calon Advokat tersebut
sudah menjalani magang untuk memenuhi persyaratan magang sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat.
Larangan bagi calon advokat magang
Calon advokat yang melaksanakan magang dilarang melakukan hal-hal di bawah ini (lihat Pasal 7B Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat):
1. memberikan
jasa hukum secara langsung kepada klien, tetapi semata-mata
mendampingi/membantu Advokat Pendamping dalam memberikan jasa hukum
2. Calon Advokat pemegang Izin Sementara tidak dapat menjalankan praktik Advokat atas namanya sendiri.
IV. PENGANGKATAN DAN SUMPAH ADVOKAT
Untuk
dapat diangkat sebagai advokat, calon advokat harus telah memenuhi
tahapan-tahapan dan persyaratan sebagaimana diuraikan di atas. Selain
itu, ada syarat lain yakni telah berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun (lihat Pasal 3 ayat [1] huruf d UU Advokat).
Setelah
diangkat oleh organisasi advokat, calon advokat resmi berstatus sebagai
advokat. Namun, advokat yang baru diangkat oleh organisasi advokat
belum dapat menjalankan profesinya sebelum melalui tahapan atau
persyaratan selanjutnya yaitu mengucapkan sumpah advokat.
Sumpah advokat diatur dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU Advokat, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 4
(1)
Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut
agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka
Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
- bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
- bahwa
saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
- bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan
bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan
keadilan;
- bahwa
saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan
tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat
pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi
perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
- bahwa
saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya
sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai
Advokat;
- bahwa
saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa
hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian
daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
(3)
Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh
Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah
Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.”
Toga advokat
Saat
mengucapkan sumpah/janji advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi,
advokat wajib mengenakan toga advokat. Toga advokat adalah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.07.UM.01.06 Tahun 1983 Tanggal: 16 Desember 1983.
Menjadi anggota organisasi advokat
Menurut Pasal 30 ayat (2) UU Advokat, setiap advokat yang diangkat berdasarkan UU Advokat wajib menjadi anggota Organisasi Advokat. seperti diketahui pengangkatan advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (lihat Pasal 2 ayat (2) UU Advokat).
Buku daftar anggota dan kartu advokat
Nama
advokat yang menjadi anggota Organisasi Advokat dicantumkan dalam Buku
Daftar Anggota. Di dalam Buku Daftar Anggota dicantumkan pula nomor
induk/keanggotaan advokat pada Organisasi Advokat.
Tanda
keanggotaan pada Organisasi Advokat juga ditunjukkan dengan kartu tanda
pengenal advokat yang mencantumkan nomor induk/keanggotaan advokat.
Dalam menjalankan tugas profesinya sehari-hari, kartu tanda pengenal
advokat harus selalu dibawa oleh advokat sebagai bagian dari identitas
diri dan profesional advokat.
Itulah syarat menjadi Advokat kiranya bisa menjadi keuntungan bagi pembaca, terima kasih salam Officium Nobile.
Minggu, 20 September 2015
DASAR HUKUM KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DASAR
HUKUM KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pada dasarnya perbuatan yang dapat
dipidanakan adalah dimana perbuatan yang telah diatur dalam system hukum atau
biasa disebut asas legalitas “nullum delictum nula poena sine preivia lege
poenale”, namun dengan kewenangan institute atau lembaga manapun di Negara
Indonesia jika tidak ada dasar hukum maka itu merupakan perbuatan melawan
hukum.
Sejak berlakunya Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981 yang telah
dikodifikasi, sesuai dengan Pasal 6 KUHAP, maka yang dimaksud dengan penyidik adalah
Pejabat Kepolisian Negara R.I dan Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi
kewenangan khusus (dalam hal ini tidak termasuk kejaksaan), sehingga di Negara
R.I ini Kepolisian merupakan penyidik tunggal terhadap perkara apapun. Didalam
peraturan peralihan KUHAP yaitu Pasal 284 ayat (2) disebutkan: “Dalam waktu dua tahun setelah
undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiaan untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku
lagi.” Dengan penjelasan tersebut bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus
adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan,penuntutan dan peradilan tindak
pidana ekonomi (UU nomor 7 Drt tahun 1955 dan UU tentang Pemberantasan tindak
Pidana korupsi. Untuk tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam Peraturan Pemerintah
nomor 27 tahun 1983 dalam Pasal 17 secara tegas menyebutkan Kejaksaan sebagai Penyidik untuk
tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih lengkapnya isi Pasal tersebut
adalah sebagai berikut : “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat
(2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada saat berlakunya KUHAP,
di mana ditetapkan bahwa tugas-tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada
penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi
berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum.
Andi Hamzah, dalam bukunya Pengantar
Hukum Acara Pidana halaman 159, Andi Hamzah perpendapat bahwa petunjuk untuk
menyempurnakan penyidikan merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan
dan penuntutan tidak dapat dipisahkan. sehingga dengan demikian sebenarnya kejaksaan
(Jaksa Penuntut Umum) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun.
Lex specialis derogath legi generalis
merupakan asas yang mengatur UU yang khusus menyampingkan UU umum maka dengan
demikian sesuai UU Kejaksaan yakni UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 huruf d Kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang. kemudian ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP
JoPasal 17 Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa masih berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindakpidana
khusus). Di samping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum keJaksaan
melakukan penyidikan adalah Pasal 2 TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tanggal 13
Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan menugaskan Kejaksaan untuk
melakukan akselerasidalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan: Tugas dan
kewenangan Jaksa adalah: “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan UU”. Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengantindak
pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor
26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Jo. Undang-Undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi Kejaksaan sebagai
penyidik dalam perkaratindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat dipahami
dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam
praktek peradilan ada pengadilan yang tidak dapat menerima alasan bahwa Jaksa
berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan
jawaban untuk menanggapi persoalan hukum tersebut dengan mengeluarkan pendapat/fatwa
nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian
bahwa Jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi
sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 dengan dasar:
§ Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju
undang-undang nomor 20 tahun 2001
§ Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo.
Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
§ Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya.
§ Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
§ Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor
16 tahun 2004.
Konstruksi hukum Mahkamah Agung yaitu bahwa
berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 tahun 2001 Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi dilakukanberdasarkan hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga oleh karena
KUHAP ada aturan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya jo Pasal 17 PP
nomor 27 tahun 1983 maka jelas Jaksa memiliki kewenangan dalam menyidik tindak
pidana korupsi.
Menurut Swarsono pembagian
kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan Kejaksaan secara
tegas (strict) seperti keinginan pemohon merupakan dalil yang keliru. Sebab,
dalam praktik di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan
dari wewenang melakukan penuntutan. “Seperti di
Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan
FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama
praktek di Jepang, Jerman,dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP
Rumania dan RRC penyidikan delik korupsi khusus wewenang Jaksa,”
Kamis, 02 April 2015
ARBITRASE
ARBITRASE
YANG DIMAKSUD DENGAN
LEMBAGA ARBITRASE ?
APAKAH LEMBAGA ARBITRASE
BERKAITAN DENGAN PHI ?
DASAR HUKUM LEMBAGA ARBITRASE ?
TATA CARA / PROSES PERKARA
PADA LEMBAGA ARBITRASE ?
CONTOH KASUS ?
1.
ARBITRASE
A. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata
arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration (inggris) dan sheidspruch
(jerman), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sengketa menurut kebijaksanaan
atau perdamaian melalui arbiter atau wasit.
Dalam hubungan bisnis atau perjanjian
selalu ada kemungkinan timbulnya suatu sengketa, untuk menyelesaikan sengketa
ada beberapa cara yang bisa dipilih yaitu melalui Negosiasi, Mediasi,
Pengadilan, dan Arbitrase.
Definisi arbitrase termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Pengertian lembaga arbitrase termuat
dalam Pasal I angka 8 UU Nomor 30 Tahun
1999 “ Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa”. Dalam literature dijumpai beberapa pendapat
oleh para ahli hukum tentang arbitrase diantaranya :
1. Frank Elkoury dan Edna
Elkoury dalam bukunya “How Arbitration Works” disebutkan
bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh
para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak
secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral
sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil
dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan
tersebut secara final dan mengikat.
2. Gary Goodpaster,
mengemukakan sebagai berikut :“Arbitration is the private
adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or
experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision
maker they in some fashion select”.
3. Subekti, menyebutkan
bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang
hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada
atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka
pilih atau tunjuk tersebut.
4. Priyatna Abdurrasid
mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang
dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa,
dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para
pihak.
5. M.N. Purwosutjipto
menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para
pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah
pihak.
6. Dalam Black Law
Dictionary dijelaskan sebagai berikut :“Arbitration is the reference
of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to the dispute
who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at
which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking
and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, istead
of carrying it to establishtribunal of justice, an is intended to avoid the
formalities the delay, the expense and
taxation of ordinary litigation”.
7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun
1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
8. Arbitrase menurut Komisi
Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for the
settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and
as a result of an undertaking voluntarily accepted.
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan
Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam Arbitrase harus tertulis,
bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah sebagai berikut :
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Cara penyelesaian
sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2. Atas dasar perjanjian
tertulis dari para pihak;
3. Untuk mengantisipasi
sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;
4. Dengan melibatkan pihak
ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan
5. Sifat putusannya adalah final dan
mengikat.
Sesungguhnya jika kita buka lagi
lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa pranata arbitrase
ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia
Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615
sampai dengan 651 R.v. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui
apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan serta fungsi arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan.Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan.Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.
B. Obyek Sengketa dalam
Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang putusannya bersifat final dan
mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999
disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek
pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua
sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang
tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu
:“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Penjelasannya tidak
memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan
penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah
kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2)
menyebutkan bahwa :“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian”. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka
kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
C. Keuntungan Arbitrase
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai
berikut:
a. Kecepatan
dalam proses
Suatu
persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama
perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan.
Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu
penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan
arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal para pihak
telah memilih acara arbitrase … harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka
waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat
arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan
menentukan.”)
Demikian pula,
putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak
dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999
disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan
atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan:
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.”
Sebelum
berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan banding atas
putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta dan
penerapan hukumnya.Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan
mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal
641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah
Agung.)Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1)
Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award,
irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as
binding and,… shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara
mana pun ia dijatuhkan.
b. Pemeriksaan
ahli di bidangnya
Untuk memeriksa
dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk
memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai
hal-hal yang disengketakan.Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang
diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan
kualitasnya.Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan
arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli
perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan
lain-lain.
c. Sifat
konfidensialitas
Pemeriksaan
sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup,
dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang
tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan.Dengan demikian,
penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak
yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: “Semua
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”
Berbeda dari
arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus dilakukan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat
merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang
seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.
Sebagai
perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan bahwa
pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga
peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. kerahasiaan
sengketa para pihak dijamin;
b.
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat
dihindari;
c. para pihak
dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur, dan adil;
d. para pihak
dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan
tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan
arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Penjelasan UU
No. 30/1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas
tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat
lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu satunya kelebihan arbitrase
dibandingkan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak
dipublikasikan.Selanjutnya, di dalam Penjelasan disebutkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama
untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.
Berdasarkan
penelitian penulis tentang keefektifan penggunaan arbitrase dapat disimpulkan
bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada
asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. lebih cepat,
karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya,
dan tenaga;
b. dilakukan
oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang
tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya
(putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan
c. kerahasiaan
terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum,
sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
Dengan beberapa
alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebih efektif daripada
penyelesaian sengketa di pengadilan.Namun demikian, selain beberapa keuntungan
atas pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa
kelemahan yang perlu mendapat perhatian dari para pihak yang bersengketa dan
penasehat hukumnya, para praktisi hukum lainnya, dan dari kalangan akademisi,
termasuk ahli arbitrase.Jika beberapa kelemahan tersebut (lihat uraian
kelemahan arbitrase) tidak diantisipasi, maka hal itu dapat membuat arbitrase
kehilangan baik daya guna (keefektifan) maupun hasil guna (efisiensi)-nya.
Di bawah ini keutungan menggunakan
Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari tinjauan undang-undang
: Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase
Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia” dalam buku Arbitrase di
Indonesia” , menyebutkan ada beberapa alasan memilih
arbitrase, yaitu :
a. Kebebasan, kepercayaan, dan
keamanan;
b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;
g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam
bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga menyebutkan beberapa alasan yang
menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase demikian populer dalam
transaksi dagang internasional, antara lain :
• Dihindarkannya publisitas;
• Tidak banyak formalitas;
• Bantuan pengadilan hanya taraf
eksekusi;
• Baik untuk pedagang-pedagang
bonafide;
• Ada jaminan dari
perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
• Lebih murah dan lebih cepat.
Mengutip penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata Arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu antara lain :
a. Dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan
yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih
arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter
merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur)
sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Dari keterangan di atas dapat
dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketa,
misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih
menguntungkan apabila kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik
dianggap sebagai salah satu sarana mencapai tujuan perusahaan dan demi
berlangsungnya sebuah perusahaan tersebut, begitu juga dengan pihak yang
tergolong orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa mempercepat dicapainya
solusi atas sebuah sengketa karen prosedural dan administratif juga lebih
mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai
dengan sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter
yang dipilih bisa dari arbiter yang ahli dalam bidang cyber law sehingga
diharapkan putusan akan lebih diterima oleh para pihak. Begitu juga dengan
pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang paling sesuai dengan
persoalan yang sedang dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai kesepakatan
para pihak.Arbitrase diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan para pihak dan
mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang masuk
kepada kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan
penyelesaian sengketa alternatif.
D. Kelemahan Arbitrase
Beberapa faktor
yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut:
a. Hanya untuk
para pihak bona fide
Arbitrase hanya
bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur
dan dapat dipercaya.Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki
kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang
dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya,
jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan
arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya,
bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang
dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan
berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan
putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.
Sering ditemui
di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul
arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya
ke pengadilan.Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di dalam
perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut.
(Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase…”)
b.
Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan
arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.Meskipun arbiter
memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis
arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa.
Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian
pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil).
Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu
kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali
(melalui proses banding).
Meskipun
semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan mutlak arbiter
serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak sependapat;
dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan.Artinya, itu merupakan risiko
yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko tersebut harus
diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh karena itulah
para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter (yang terbaik dan paling
menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka.
c. Tidak ada
preseden putusan terdahulu
Putusan
arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak
dipublikasikan.Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan
lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap
putusan-putusan arbitrase sebelumnya.Artinya, putusan-putusan arbitrase atas
suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung
argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
Secara teori
hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan
yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan
datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas
similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama.
d. Masalah
putusan arbitrase asing
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan
pengakuan dan pelaksanaan putusannya.Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat
penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus
dieksekusi.Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui
arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut
dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.
Meskipun ADR memiliki beberapa
keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme yang rentan terutama
untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahan-kelemahan,
di antaranya :
a. ADR belum dikenal secara
luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh
masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan
P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh
kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai,
sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat
dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui
lembaga-lembaga ADR yang ada.
c. Lembaga ADR tidak
mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun keputusannya
bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui “fiat eksekusi” pengadilan.Jadi
wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.
d. Kurangnya kepatuhan para
pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR, sehingga mereka
seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur waktu,
perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.
e. Kurangnya kesediaan para
pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya. Budaya litigasi
yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution,
dan bukan win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.
f. Kurangnya para pihak
memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR
hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu konvensi-konvensi
seperti : Convention of the settlement of Investment Disputes Between States
and National of Other State atau Convention on the Recognition And Enforcement
of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita
dapat mengemukakan beberapa jenis arbitrase yaitu :
1. Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase
yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.Arbitrase
ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu
diputuskan.
2. Arbitrase institusional;
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering disebut “permanent arbitral body” .Arbitrase
ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian.Faktor kesengajaan dan sifat permanen
ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase
institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan
arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya
dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.
F. Keputusan Arbitrase
Putusan arbirase umumnya mengikat para
pihak.Penaatan terhadapnya dipandang tinggi.Biasanya putusannya bersifat final
dan mengikat.Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para pihak sendiri atas
kesadaran akan penyelesaian sengketa. Putusan arbitrase merupakan suatu putusan
yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu
perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu
pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula
arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk
diputuskan olehnya. Berdasarkan pada “tempat di mana arbitrase tersebut
diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam :
1. Putusan arbitrase
nasional, yang merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di
negara Republik Indonesia;
2. Arbitrase Internasional
atau arbitrase asing, Yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di
negara di luar negara Republik Indonesia.
Untuk menentukan apakah putusan
arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional,
didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan
hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut.Kalau
mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusan
dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase
tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional. Sebaliknya walaupun
para pihak yang bersengketa itu bukan berkewarganegaraan Indonesia, tetapi
mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya,
maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan
putusan arbitrase internasional.
G. Badan Arbitrase Nasional
Indonesia ( BANI )
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (
BANI ) adalah sebuah badan yang mempunyai hubungan erat dengan KAMAR DAGANG dan
INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya memberikan penyelesaian yang adil dan
cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal
perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang
bersifat Internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI adalah bebas
(otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain. Indonesia mulai memiliki pusat
arbitrase nasional sejak tahun 1977.Indonesia juga memiliki sebuah lembaga
arbitrase yang dipusatkan pada transaksi rencana perbankan dan keuangan Islam.
Lembaga ini dikenal sebagai BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang
didirikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Yayasan BAMUI, sebagai sebuah
mekanisme alternatif yang menyangkut perselisihan komersial di Indonesia. Penyelesaian sengketa dengan
menggunakan arbitarase BANI jika sidang pertama pemohon tidak hadir, tanpa
adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan dinyatakan gugur. Hal
ini sesuai dengan ketentuan HIR mengenai perkara perdata. Namun jika termohon
yang tidak datang pada sidang pertama maka akan dipanggil sekali lagi untuk
menghadap di muka sidang pada waktu kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya
empat belas hari lagi sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Jika termohon
tidak datang juga, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya si termohon
dan tuntutan si pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu oleh BANI
dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini sesuai
dengan verstek dalam HIR.14 Ini
berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional yang bersifat nasional
karena arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan
untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.Faktor kesengajaan dan
sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu
arbitrase oleh BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan
arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan
tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai dan ruang
lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang
bersangkutan.Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada
pasal 14 peraturan prosedur BANI yaitu :
• Alat bukti keterangan para pihak
dalam bentuk pengakuan,
• Alat bukti keterangan saksi,
• Alat bukti keterangan ahli.
Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan
alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit pasal 14 ayat 1 menyatakan
bahwa “serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu”, ini
berarti sesuai dengan praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti
surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti sumpah. Diharapkan dalam alternatif
penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin tingginya keadilan
yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi ditangani
dengan pengadilan ataupun penyelesaian sengketa alternatif.
2.
KAITAN LEMBAGA ARBITASE
DENGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 memberi peluang pada para pihak untuk penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase.Perkara yang
ditangani lembaga arbitrase adalah sengketa perihal perselisihan kepentingan
dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan di dalam suatu perusahaan.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu
arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 adalah merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang
hubungan industrial Sesuai ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui arbitrase dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak, putusan
arbitrase bersifat pinal dan tetap, karena itu tidak dapat diajukan gugatan ke
PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), terkecuali bila dalam hal-hal tertentu
dapat dilakukan pembatalan ke MA (Mahkamah Agung) RI. Arbiter untuk
penyelesaian sengketa hubungan industrial diangkat berdasarkan Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan.Ia bertugas untuk memberikan putusan atas penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dimaksud. Terhadap putusan Arbiter yang
menimbulkan keraguan , pihak yang meragukan dapat memajukan tuntutan ingkar
terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan
alasanalasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Untuk perkara seperti
ini Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan terhadap hal tersebut tidak
dapat diajukan perlawanan. Apabila untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut Arbitrase dapat mencapai kesepakatan, maka Arbiter harus
membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
disaksikan eorang Arbiter atau Majelis Arbiter.Penetapan Akte Perdamaian
tersebut didaftarkan di Pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan
sebagaimana lazimnya mengeksekusi suatu putusan.Putusan Kesepakatan Arbitrase
tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masingmasing pihak satu
rangkap, serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.Terhadap putusan
tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi. Karenanya
terhadap sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke PHI
(Pengadilan Hubungan Industrial).
3.
DASAR HUKUM LEMBAGA
ARBITRASE
Secara singkat
sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”Demikian pula halnya
dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap
berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai
dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
B. Pasal 377
HIR
Ketentuan
mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG
yang menyatakan bahwa :
“Jika orang
Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh
juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan
pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini
adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
C. Pasal 615
s/d 651 RV
Peraturan
mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga BabPertama Pasal 615
s/d 651 RV, yang meliputi :
– Persetujuan
arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
– Pemeriksaan
di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Putusan
Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Upaya-upaya
terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
– Berakhirnya
acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D. Penjelasan
Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah
Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase
dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
E. Pasal 80 UU
NO. 14/1985
Satu-satunya
undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No.
14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang
termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan
pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah
Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang
Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950
menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang
kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang
lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal 22
ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini
Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:“Jikalau di antara kedua belah pihak
tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi
tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah
pihak”.
Pasal 22 ayat
(3) UU No. 1/1967 :“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh
pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai
ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No.
5/1968
yaitu mengenai
persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan
Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas
“International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between
States and Nationals of Other States”.Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa
pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu
perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre
for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
H. Kepres. No.
34/1981
Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi
Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan
pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
I. Peraturan
Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya
dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah
Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di
keluarkan.
J. UU No. 30
Tahun 1999
Sebagai
ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, makapemerintah
mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian
Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan
peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR,
dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan
hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang
terdapat dalam UU NO.30 Tahun1999.
Pengaturan Arbitrase Sebelum UU No. 30 Tahun 1999
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU
No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615
s.d. Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk
penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan
mereka.Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok
penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk
Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan
Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan
Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van
Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum acaranya
Rv.Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW dan
WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J. Burns
(di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional antara
Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji.Menurutnya telah terjadi ironi
dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda
karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide
Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri.Identitas tersebut
(termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan.Walaupun aturan-aturan
hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia
kemudian menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara
perdata setelah Indonesia merdeka.
Selanjutnya, ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam
Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan
Pasal 705 RBg disebutkan bahwa: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing
menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib
memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.”
Dari kedua
pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka
melalui juru pisah atau arbitrase;
b. juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan
putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan
c. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan
pengadilan bagi golongan Eropa.
Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa
sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg
tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk
ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan
untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah
semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab
I (dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv
mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 615
s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.
2. Pasal 624
s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.
3. Pasal 631
s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.
4. Pasal 641
s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
5. Pasal 648
s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.
Mengingat
pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan
internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi.
Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan ”sehari-hari” dalam
kegiatan bisnis internasional.
Masalah-masalah
lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv contohnya adalah perjanjian
arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3), diizinkannya banding ke
Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1), larangan bagi wanita
untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua itu bertentangan
dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini.Dengan demikian,
perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu conditio sine
qua non.
4.
TATA CARA / PROSES PERKARA
PADA LEMBAGA ARBITRASE
Pasal 1. Kesepakatan Arbitrase
Apabila para pihak dalam suatu
perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang
timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang
bersangkutan ke arbitrase di hadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(“BANI”), atau menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut
diselesaikan dibawah penyelenggaraan BANI berdasarkan Peraturan tersebut,
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara
tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian
sengketa secara damai melalui Arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para
pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.
Pasal 2. Prosedur yang berlaku
Peraturan Prosedur ini berlaku
terhadap arbitrase yang diselenggarakan oleh BANI. Dengan menunjuk BANI
dan/atau memilih Peraturan Prosedur
BANI untuk penyelesaian sengketa, para pihak dalam perjanjian atau sengketa
tersebut dianggap sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara
melaluiPengadilan Negeri sehubungan dengan perjanjian atau sengketa tersebut,
dan akan melaksanakan setiap putusan yang diambil oleh Majelis Arbitrase berdasarkan
Peraturan Prosedur BANI.
Pasal 3. Definisi
Kecuali secara khusus ditentukan lain,
maka istilah-istilah di bawah ini berarti:
a. “Majelis
Arbitrase BANI” atau “Majelis”, baik dalam huruf besar atau huruf
kecil, adalah Majelis yang dibentuk
menurut Prosedur BANI dan terdiri
dari satu atau tiga atau lebih arbiter;
b. “Putusan”,
baik dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah setiap putusan yang ditetapkan
oleh Majelis Arbitrase BANI, baik putusan sela ataupun putusan
akhir/final dan mengikat;
c. “BANI”
adalah Lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
d. “Dewan”
adalah Badan Pengurus BANI;
e. “Ketua”
adalah Ketua Badan Pengurus BANI, kecuali dan apabila jelas dinyatakan bahwa
yang dimaksud adalah Ketua Majelis Arbitrase. Ketua BANI dapat menunjuk Wakil
Ketua atau Anggota Badan Pengurus
yang lain untuk melaksanakan tugas-tugas Ketua sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Prosedur ini, termasuk dalam hal tertentu untuk menunjuk satu atau
lebih arbiter, dalam hal mana rujukan kepada Ketua dalam Peraturan ini berlaku
pula terhadap Wakil Ketua atau Anggota Badan Pengurus yang lain yang ditunjuk
tersebut.
f. “Pemohon”
berarti dan menunjuk pada satu atau lebih pemohon atau para pihak yang
mengajukan permohonan arbitrase;
g. “Undang-Undang”
berarti dan menunjuk pada Undang-undang Republik Indonesia No. 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
h. “Termohon”
berarti dan menunjuk pada satu atau lebih Termohon atau para pihak terhadap
siapa permohonan arbitrase ditujukan;
i. “Para
Pihak” berarti Pemohon dan Termohon;
j. “Peraturan
Prosedur” berarti dan menunjuk pada ketentuan-ketentuan Peraturan Prosedur
BANI yang berlaku pada saat dimulainya penyelenggaraanarbitrase, dengan mengindahkan adanya kesepakatan
tertentu yang mungkin dibuat para pihak yang bersangkutan yang satu dan lain dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 1;
k. “Sekretariat”
berarti dan menunjuk pada organ administratif BANI yang bertanggung jawab dalam
hal pendaftaran permohonan arbitrase dan hal-hal lain yang bersifat
administratif dalam rangka penyelenggaraan arbitrase;
l. "Sekretaris
Majelis” berarti dan menunjuk pada sekretaris majelis yang ditunjuk oleh
BANI untuk membantu administrasi penyelenggaraan arbitrase bersangkutan; dan
m. “Tulisan”,
baik dibuat dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah dokumen-dokumen
yang ditulis atau dicetak di atas kertas, tetapi juga dokumen-dokumen yang
dibuat dan/atau dikirimkan secara elektronis, yang meliputi tidak saja
perjanjian-perjanjian tetapi juga pertukaran korespondensi, catatan-catatan
rapat, telex, telefax, e-mail dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya yang
demikian; dan tidak boleh ada perjanjian, dokumen korespondensi, surat
pemberitahuan atau instrumen lainnya yang dipersyaratkan untuk diwajibkan
secara tertulis, ditolak secara hukum dengan alasan bahwa hal-hal tersebut
dibuat atau disampaikan secara elektronis.
Pasal 4. Pengajuan, Pemberitahuan Tertulis dan Batas Waktu
1. Pengajuan
komunikasi tertulis dan jumlah salinan.
Semua pengajuan komunikasi tertulis yang
akan disampaikan setiap pihak, bersamaan dengan setiap dan seluruh dokumen
lampirannya, harus diserahkan kepada Sekretariat BANI untuk didaftarkan dengan jumlah
salinan yang cukup untuk memungkinkan BANI memberikan satu salinan kepada
masing-masing pihak, arbiter yang bersangkutan dan untuk disimpan di
Sekretariat BANI. Untuk maksud tersebut, para pihak dan/atau kuasa hukumnya
harus menjamin bahwa BANI pada setiap waktu memiliki alamat terakhir dan nomor
telepon, faksimili, e-mail yang bersangkutan untuk komunikasi yang diperlukan.
Setiap komunikasi yang dikirim langsung oleh Majelis kepada para pihak haruslah
disertai salinannya kepada Sekretariat dan setiap komunikasi yang dikirim para
pihak kepada Majelis harus disertai salinannya kepada pihak lainnya dan
Sekretariat.
2. Komunikasi
dengan Majelis.
Apabila Majelis Arbitrase telah
dibentuk, setiap pihak tidak boleh melakukan komunikasi dengan satu atau lebih
arbiter dengan cara bagaimanapun sehubungan dengan permohonan arbitrase yang
bersangkutan kecuali: (i)
dihadiri juga oleh atau disertai pihak lainnya dalam hal berlangsung komunikasi
lisan; (ii) disertai suatu salinan yang secara bersamaan dikirimkan ke para
pihak atau pihak-pihak lainnya dan kepada Sekretariat (dalam hal komunikasi
tertulis).
3. Pemberitahuan.
Setiap pemberitahuan yang perlu
disampaikan berdasarkan Peraturan Prosedur ini, kecuali Majelis menginstruksikan
lain, harus disampaikan langsung, melalui
kurir, faksimili atau e-mail dan dianggap berlaku pada tanggal diterima atau
apabila tanggal penerimaan tidak dapat ditentukan, pada hari setelah penyampaian
dimaksud.
4. Perhitungan
Waktu.
Jangka waktu yang ditentukan
berdasarkan Peraturan Prosedur ini atau perjanjian arbitrase yang bersangkutan,
dimulai pada hari setelah tanggal dimana pemberitahuan atau komunikasi dianggap
berlaku, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Prosedur Pasal 4 ayat (3) di atas.
Apabila tanggal berakhirnya suatu pemberitahuan atas batas waktu jatuh pada
hari Minggu atau hari libur nasional di Indonesia, maka batas waktu tersebut
berakhir pada hari kerja berikutnya setelah hari Minggu atau hari libur tersebut.
5. Hari-hari
Kalender.
Penunjukan pada angka-angka dari
hari-hari dalam Peraturan Prosedur ini menunjuk kepada hari-hari dalam
kalender.
6. Penyelesaian
cepat.
Dengan mengajukan penyelesaian
sengketa kepada BANI sesuai Peraturan Prosedur ini maka semua pihak sepakat bahwa
sengketa tersebut harus diselesaikan dengan itikad baik secepat mungkin dan
bahwa tidak akan ditunda atau adanya langkah-langkah lain yang dapat menghambat
proses arbitrase yang lancar dan adil.
7. Batas
Waktu Pemeriksaan Perkara.
Kecuali secara tegas disepakati para
pihak, pemeriksaan perkara akan diselesaikan dalam waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari sejak tanggal Majelis selengkapnya terbentuk.
Dalam keadaan-keadaan khusus dimana sengketa bersifat sangat kompleks, Majelis
berhak memperpanjang batas waktu melalui pemberitahuan kepada para pihak.
Pasal 5. Perwakilan Para Pihak
1. Para
Pihak dapat diwakili dalam penyelesaian sengketa oleh seseorang atau
orang-orang yang mereka pilih. Dalam pengajuan pertama, yaitu dalam Permohonan
Arbitrase Pemohon dan demikian pula dalam Jawaban Termohon atas Permohonan
tersebut, masing-masing pihak harus mencantumkan nama, data alamat dan
keterangan-keterangan serta kedudukan setiap orang yang mewakili pihak
bersengketa dan harus disertai surat kuasa khusus asli bermaterai cukup serta
dibuat salinan yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) di
atas yang memberikan hak kepada orang tersebut untuk mewakili pihak dimaksud.
2. Namun
demikian, apabila suatu pihak diwakili oleh penasehat asing atau penasehat
hukum asing dalam suatu perkara
arbitrase mengenai sengketa yang tunduk kepada hukum Indonesia, maka penasehat
asing atau penasehat hukumasing dapat hadir hanya apabila didampingi penasehat
atau penasehat hukum Indonesia.
Pasal 6. Permohonan Arbitrase
1.
Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan
Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase (“Pemohon”) pada Sekretariat
BANI.
2. Penunjukan
Arbiter
Dalam Permohonan Arbitrase Pemohon
dandalam Jawaban Termohon atas Permohonan tersebut Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau
menyerahkan penunjukan tersebut kepada Ketua BANI.
3. Biaya-biaya
Permohonan Arbitrase harus disertai
pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi sesuai dengan
ketentuan BANI.
Biaya administrasi meliputi biaya
administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta
biaya Sekretaris Majelis.
Apabila pihak ketiga diluar perjanjian
arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh pasal 30 Undang-undang
No. 30/1999, maka pihak ketiga
tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya
tersebut.
4. Pemeriksaan
perkara arbitrase tidak akan
dimulai sebelum biaya
administrasi dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI.
Pasal 7. Pendaftaran
1. Setelah
menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang
disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam register
BANI.
2. Badan
Pengurus BANI akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah
perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup
memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut.
Pasal 8. Tanggapan Termohon
1. Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI
berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang
atau lebih Sekretaris Majelis
harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase
tersebut.
2. Sekretariat
harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen
lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan
tertulis dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari.
3. Tanggapan
Dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah menerima penyampaian
Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban
itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu
kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk
seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.
4. Perpanjangan
Waktu
Ketua BANI berwenang, atas permohonan
Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter
oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa
perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.
Pasal 9. Yang berhak menjadi Arbiter
1. Majelis
Arbitrase
Kecuali dalam keadaan-keadaan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) di bawah ini, hanya mereka yang
diakui termasuk dalam daftar arbiter yang disediakan oleh BANI dan/atau
memiliki sertifikat ADR/Arbitrase yang diakui oleh BANI dapat bertindak selaku arbiter
berdasarkan Peraturan Prosedur ini yang dapat dipilih oleh para pihak.
Daftar arbiter BANI tersebut terdiri
dari para arbiter yang memenuhi syarat yang tinggal di Indonesia dan diberbagai
yurisdiksi di seluruh dunia, baik pakar hukum maupun praktisi dan pakar non
hukum seperti para ahli teknik, para arsitek dan orang-orang lain yang memenuhi
syarat. Daftar arbiter tersebut dari waktu
ke waktu dapat ditinjau kembali, ditambah atau diubah oleh Badan Pengurus.
2. Arbiter
Luar
Dalam hal para pihak, memerlukan
arbiter yang memiliki suatu
keahlian khusus yangdiperlukan dalam memeriksa suatu perkara arbitrase yang
diajukan ke BANI, permohonan dapat diajukan kepada Ketua BANI guna menunjuk
seorang arbiter yang tidak terdaftar dalam daftar arbiter BANI dengan ketentuan bahwa arbiter yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang tercantum
dalam ayat 1 diatas dan ayat 3 dibawah ini. Setiap permohonan harus dengan
jelas menyatakan alasan diperlukannya arbiter luar dengan disertai data riwayat
hidup lengkap dari arbiter yang diusulkan. Apabila Ketua BANI menganggap bahwa
tidak ada arbiter dalam daftar arbiter BANI dengan kualifikasi profesional
yang dibutuhkan itu sedangkan arbiter yang dimohonkan memiliki kualifikasi
dimaksud memenuhi syarat, netral dan tepat, maka Ketua BANI dapat, berdasarkan
pertimbangannya sendiri menyetujui penunjukan arbiter tersebut.
Apabila Ketua BANI tidak menyetujui
penunjukan arbiter luar tersebut, Ketua harus merekomendasikan, atau menunjuk,
dengan pilihannya sendiri, arbiter alternatif yang dipilih dari daftar arbiter
BANI atau seorang pakar yang memenuhi syaratdalam bidang yang diperlukan namun
tidak terdaftar di dalam daftar arbiter BANI.Dewan Pengurus dapat mempertimbangkan
penunjukan seorang arbiter asing yang diakui dengan ketentuan bahwa arbiter
asing itu memenuhi persyaratan kualifikasi dan bersedia mematuhi Peraturan
Prosedur BANI, termasuk ketentuan mengenai biayaarbiter, dimana pihak yang
menunjuk berkewajiban memikul biaya-biaya yang berhubungan dengan penunjukan arbiter
asing tersebut.
3.
Kriteria-kriteria
Disamping memiliki sertifikat
ADR/Arbitrase yang diakui oleh BANI seperti dimaksud dalam ayat 1 diatas,dan/atau
persyaratan kualifikasi lainnya yang diakui oleh BANI semua arbiter harus
memiliki persyaratan sebagai berikut:
a. berwenang
atau cakap melakukan tindakan-tindakan hukum;
b. sekurang-kurangnya
berusia 35 tahun;
c. tidak
memiliki hubungan keluarga berdasarkan keturunan atau perkawinan sampai dengan
keturunan ketiga, dengan setiap dari para pihak bersengketa;
d. tidak
memiliki kepentingan keuangan atau apa pun terhadap hasil penyelesaian
arbitrase;
e. berpengalaman
sekurang-kurangnya 15 tahun dan menguasai secara aktif bidang yang dihadapi;
f. tidak
sedang menjalani atau bertindak sebagai hakim, jaksa, panitera pengadilan, atau
pejabat pemerintah lainnya.
4. Pernyataan
Tidak Berpihak.
Arbiter yang ditunjuk untuk memeriksa
sesuatu perkara sesuai ketentuan Peraturan Prosedur BANI wajib menandatangani
Pernyataan Tidak Berpihak yang disediakan oleh Sekretariat BANI.
5. Hukum
Indonesia.
Apabila menurut perjanjian arbitrase
penunjukan arbiter diatur menurut hukum Indonesia, sekurang-kurangnya seorang
arbiter, sebaiknya namun tidak diwajibkan, adalah seorang sarjana atau praktisi
hukum yang mengetahui dengan baik hukum Indonesia dan bertempat tinggal di
Indonesia.
Pasal 10. Susunan Majelis
1. Arbiter
Tunggal
Apabila Majelis akan terdiri dari
hanya seorang arbiter, Pemohon dapat, dalam Permohonan Arbitrase, mengusulkan
kepada Ketua, seorang atau lebih yang memenuhi syarat untuk direkomendasikan
menjadi arbiter tunggal. Apabila Termohon setuju dengan salah satu calon yang
diajukan Pemohon, dengan persetujuan Ketua, orang tersebut dapat ditunjuk
sebagai arbiter tunggal. Namun apabila tidak ada calon yang diusulkan Pemohon
yang diterima Termohon, dengan kekecualian kedua pihak sepakat mengenai suatu
Majelis yang terdiri dari tiga arbiter, Ketua BANI wajib segera menunjuk orang
yang akan bertindak sebagi arbiter tunggal, penunjukan mana tidak dapat ditolak
atau diajukan keberatan olehmasing-masing pihak kecuali atas dasar alasan yang
cukup bahwa orang tersebut dianggap tidak independen atau berpihak. Apabila
para pihak tidak setuju dengan arbiter tunggal, dan/atau Ketua menganggap
sengketa yang bersangkutanbersifat kompleks dan/atau skala dari sengketa
bersangkutan ataupun nilaituntutan yang disengketakan sedemikian rupa besarnya
atau sifatnya sehingga sangat memerlukan suatu Majelis yang terdiri dari tiga
arbiter, maka Ketua memberitahukan hal tersebut kepada para pihak dan diberi
waktu 7 (tujuh) hari kepada mereka untuk
masing-masing menunjuk seorang arbiter yang dipilihnya dan apabila tidak
dipenuhi maka ketentuan Pasal 10 ayat (3) dibawah ini akan berlaku.
2. Kelalaian
Penunjukan
Dalam setiap hal dimana masing-masing
pihak tidak dapat mengangkat atau menunjuk seorang arbiter dalam batas waktu
yang telah ditentukan, maka dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
pemberitahuan atau permohonan untuk menunjuk arbiter, dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 8 ayat (3), Ketua berwenang menunjuk atas nama pihak
bersangkutan.
3. Dalam
hal Tiga Arbiter
Apabila Majelis terdiri dari tiga
arbiter, dalam hal para pihak telah menunjuk arbiter mereka masing-masing, maka
Ketua BANI menunjuk seorang arbiter yang akan mengetuai Majelis.
Penunjukan arbiter yang akan mengetuai
Majelis itu dilakukan dengan mengindahkan usul-usul dari para arbiter
masing-masing pihak, untuk itu arbiter yang ditunjuk oleh para pihak
masing-masing dapat mengajukan calon yang dipilihnya dari daftar para arbiter
BANI.
4. Jika
Jumlah Tidak Ditentukan
Apabila para pihak tidak sepakat
sebelumnya tentang jumlah arbiter (misalnya satu atau tiga arbiter), Ketua
berhak memutuskan, berdasarkan sifat, kompleksitas dan skala dari sengketa
bersangkutan, apakah perkara yang bersangkutan memerlukan satu atau tiga
arbiter dan, dalam hal demikian, maka ketentuan-ketentuan pada ayat-ayat
terdahulu Pasal 10 ini berlaku.
5. Banyak
Pihak
Dalam hal terdapat lebih dari pada dua
pihak dalam sengketa, maka semua pihak yang bertindak sebagai Pemohon (para
pemohon) harus dianggap sebagai satu pihak tunggal dalam hal penunjukan
arbiter, dan semua pihak yang dituntut harus dianggap sebagai satu Termohon
tunggal dalam hal yang sama. Dalam hal pihak-pihak tersebut tidak setuju dengan
penunjukan seorang arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka
pilihan mereka terhadap seorang arbiter harus dianggap telah diserahkan kepada
Ketua BANI yang akan memilih atas nama pihak-pihak tersebut. Dalam
keadaan-keadaan khusus, apabila diminta oleh suatu mayoritas pihak-pihak
bersengketa, ketua dapat menyetujui dibentuknya suatu Majelis yang terdiri
lebih daripada 3 arbiter.
Pihak-pihak lain dapat bergabung dalam suatu perkara arbitrase hanya sepanjang
diperkenankan berdasarkan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No.30/1999.
6.
Kewenangan Ketua BANI
Keputusan atau persetujuan akhir
mengenai penunjukan semua arbiter berada ditangan Ketua BANI. Dalam memberikan
persetujuan, Ketua dapat meminta keterangan tambahan sehubungan dengan kemandirian, netralitas dan/atau
kriteria para arbiter yang diusulkan. Ketua juga dapat mempertimbangkan kewarganegaraan
arbiter yang diusulkan sehubungan dengan kewarganegaraan para pihak yang
bersengketa dengan memperhatikan
syarat-syarat baku yang berlaku di BANI.
Ketua harus mengupayakan bahwa
keputusan sehubungan dengan penunjukan arbiter diambil atau disetujui dalam
waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak hal tersebut diajukan kepadanya.
7.
Penerimaan Para Arbiter
Seorang calon arbiter, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditunjuk, harus menyampaikan kepada BANI
riwayat hidup/pekerjaannya dan suatu pernyataan tertulis tentang kesediaan
bertindak sebagai arbiter. Apabila diperlukan, arbiter yang ditunjuk harus
menerangkan setiap keadaan yang mungkin dapat menjadikan dirinya diragukan
sehubungan dengan netralitas atau kemandiriannya.
Pasal 11. Pengingkaran/Penolakan Terhadap seorang Arbiter
1. Pengingkaran
Setiap arbiter dapat diingkari apabila
terdapat suatu keadaan tertentu yang menimbulkan keraguan terhadap netralitas
dan/atau kemandirian arbiter tersebut. Pihak yang ingin mengajukan
pengingkaran harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada BANI dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diberitahukan identitas arbiter
tersebut, dengan melampirkan dokumen-dokumenpembuktian yang mendasari pengingkaran tersebut.
Atau, apabila keterangan yang menjadi dasar juga diketahui pihak lawan, maka
pengingkaran tersebut harus diajukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari setelah keterangan tersebut diketahui pihak lawan.
2. Penggantian
BANI wajib meneliti bukti-bukti
tersebut melalui suatu tim khusus dan menyampaikan hasilnya kepada arbiter yang diingkari dan
pihak lain tentang pengingkaran tersebut. Apabila arbiter yang diingkari setuju
untuk mundur, atau pihak lain menerima pengingkaran tersebut, seorang arbiter
pengganti harus ditunjuk dengan cara yang sama dengan penunjukan arbiter yang
mengundurkan diri, berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal 10 di atas. Atau jika
sebaliknya, BANI dapat, namun tidak diharuskan, menyetujui pengingkaran
tersebut, Ketua BANI harus menunjuk arbiter pengganti.
3. Kegagalan
Pengingkaran
Apabila pihak lain atau arbiter tidak
menerima pengingkaran itu, dan Ketua BANI juga menganggap bahwa pengingkaran tersebut tidak berdasar,
maka arbiter yang diingkari harus melanjutkan tugasnya sebagai arbiter.
4. Pengingkaran
Pihak Yang Menunjuk
Suatu pihak dapat membantah arbiter
yang telah ditunjuknya atas dasar bahwa ia baru mengetahui atau memperoleh
alasan-alasan untuk pengingkaran setelah penunjukan dilakukan.
Pasal 12. Penggantian Seorang Arbiter
1. Kematian
atau Cacat
Dalam hal seorang arbiter meninggal
dunia atau tidak mampu secara tegas untuk melakukan tugasnya, selama jalannya proses
pemeriksaan arbitrase, seorang arbiter pengganti harus ditunjuk berdasarkan
ketentuan yang sama menurut Pasal 10 seperti halnya yang berlaku terhadap
penunjukan atau pemilihan arbiter yang diganti.
2. Pengunduran
diri Arbiter
Calon atau arbiter yang mempunyai
pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan perkara atau para pihak
yang bersengketa wajib untuk mengundurkan
diri.
Sebaliknya apabila Majelis telah
terbentuk maka tidak seorang pun arbiter boleh mengundurkan diri dari
kedudukannya kecuali terjadi pengingkaran
terhadap dirinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Peraturan Prosedur
ini dan peraturan
perundang-undangan.
3. Kelalaian
Bertindak
Dalam hal seorang arbiter lalai dalam
melakukan tugasnya, baik secara de jure atau de facto, satu dan lain atas
pertimbangan Ketua BANI sehingga tidak mungkin bagi dirinya menjalankan
fungsinya, sebagaimana ditentukan Ketua, maka prosedur sehubungan dengan
pengingkaran dan penggantian seorang arbiter sesuai ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11 berlaku.
4.
Pengulangan Pemeriksaan
Apabila berdasarkan Pasal 11, 12 (1),
atau 12 (3), seorang arbiter tunggal diganti maka pemeriksaan perkara, termasuk
sidang-sidang yang telah diselenggarakan sebelumnya harus diulang. Apabila
Ketua Majelis diganti, setiap sidang kesaksian sebelumnya dapat diulang apabila
dianggap perlu oleh para arbiter lainnya. Apabila seorang arbiter dalam Majelis
diganti, maka para arbiter lainnya harus memberikan penjelasan kepada arbiter
yang baru ditunjuk dan sidang-sidang sebelumnya tidak perlu diulang kecuali
dalam keadaan-keadaan khusus dimana, Majelis menurut pertimbangannya sendiri
menganggap perlu berdasarkan alasan-alasan keadilan. Apabila terjadi
pengulangan sidang-sidang berdasarkan alasan-alasan diatas, Majelis
dapat mempertimbangkan perpanjangan waktu pemeriksaan perkara seperti yang
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7).
Pasal 13.
Ketentuan-ketentuan Umum/Persidangan
1. Kewenangan Majelis
Setelah terbentuk atau ditunjuk
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Bab III diatas, Majelis Arbitrase akan
memeriksa dan memutus sengketa antara para pihak atas nama BANI dan karenanya
dapat melaksanakan segala kewenangan yang dimiliki BANI sehubungan dengan pemeriksaan
dan pengambilan keputusan-keputusan atas sengketa dimaksud. Sebelum dan selama
masa persidangan Majelis dapat mengusahakan adanya perdamaian di antara para
pihak. Upaya perdamaian tersebut tidak mempengaruhi batas waktu pemeriksaan di
persidangan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7).
2.
Kerahasiaan
Seluruh persidangan dilakukan tertutup
untuk umum, dan segala hal yang berkaitan dengan penunjukan arbiter, termasuk
dokumen-dokumen, laporan/catatan sidang-sidang,
keterangan-keterangan saksi dan putusan-putusan, harus dijaga kerahasiaannya
diantara para pihak, para arbiter dan BANI, kecuali oleh peraturan perundang-undangan
hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak yang bersengketa.
3.
Dasar Keadilan
Sesuai ketentuan Peraturan Prosedur
ini dan hukum yang berlaku, Majelis Arbitrase dapat menyelenggarakan arbitrase
dengan cara yang dapat dianggap benar dengan ketentuan para pihak diperlakukan
dengan persamaan hak dan diberi kesempatan yang patut dan sama pada setiap
tahap pemeriksaan perkara.
4. Tempat
Sidang
Persidangan, diselenggarakan di tempat
yang ditetapkan oleh BANI dan kesepakatan para pihak, namun dapat pula di
tempat lain jika dianggap perlu oleh Majelis dengan kesepakatan para pihak.
Majelis Arbitrase dapat meminta diadakan rapat-rapat untuk memeriksa,
asset-asset, barang-barang lain atau dokumen-dokumen pada setiap waktu dan di
tempat yang diperlukan, dengan pemberitahuan seperlunya kepada para pihak, guna
memungkinkan mereka dapat ikut hadir dalam pemeriksaan tersebut. Rapat-rapat
internal dan sidang-sidang Majelis dapat diadakan pada setiap waktu dan tempat,
termasuk melalui jaringan internet, apabila Majelis menganggap perlu.
Pasal 14. Bahasa
1. Bahasa Pemeriksaan
Dalam hal para
pihak tidak menyatakan sebaliknya, proses pemeriksaan perkara diselenggarakan
dalam bahasa Indonesia, kecuali dan apabila Majelis, dengan menimbang keadaan
(seperti adanya pihak-pihak asing dan/atau arbiter-arbiter asing yang tidak
dapat berbahasa Indonesia, dan/atau dimana transaksi yang menimbulkan sengketa
dilaksanakan dalam bahasa lain), menganggap perlu digunakannya bahasa Inggris
atau bahasa lainnya.
2. Bahasa Dokumen
Apabila
dokumen asli yang diajukan atau dijadikan dasar oleh para pihak dalam pengajuan
kasus yang bersangkutan dalam bahasa selain Indonesia, maka Majelis berhak
untuk menentukan dokumen-dokumen asli tersebut apakah harus disertai
terjemahan dalam bahasa Indonesia, atau dari bahasa Indonesia ke bahasa lain.
Namun demikian, apabila para pihak setuju, atau Majelis menentukan, bahwa
bahasa yang digunakan dalam perkara adalah bahasa selain bahasa Indonesia, maka
Majelis dapat meminta agar dokumen-dokumen diajukan dalam bahasa Indonesia
dengan disertai terjemahan dari penerjemah tersumpahdalam bahasa Inggris atau
bahasa lain yang digunakan.
3. Penerjemah
Apabila
Majelis dan/atau masing-masing pihak memerlukan bantuan penerjemah selama
persidangan, hal tersebut harus disediakan oleh BANI atas permintaan Majelis,
dan biaya pener-jemah harus ditanggung oleh para pihak yang berperkara sesuai
yang ditetapkan oleh Majelis.
4. Bahasa Putusan
Putusan harus
dibuat dalam bahasa Indonesia, dan apabila diminta oleh suatu pihak atau
sebaliknya dianggap perlu oleh Majelis, dalam bahasa Inggris atau bahasa
lainnya. Dalam hal bahwa naskah asli Putusan dibuat dalam bahasa Inggris atau bahasa
lainnya, suatu terjemahan resmi harus disediakan oleh BANI untuk maksud-maksud
pendaftaran, dan biaya untuk itu harus ditanggung oleh para pihak berdasarkan
penetapan Majelis
Pasal 15. Hukum Yang Berlaku
1. Hukum Yang
Mengatur
Hukum yang
mengatur materi sengketa adalah hukum yang dipilih dalam perjanjian komersial
bersangkutan yang menimbulkan sengketa antara para pihak. Dalam hal oleh para
pihak dalam perjanjian tidak ditetapkan tentang hukum yang mengatur, para
pihak bebas memilih hukum yang berlaku berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam
hal kesepakatan itu tidak ada, Majelis berhak menerapkan ketentuan-ketentuan
hukum yang dianggap perlu, dengan mempertimbangkan keadaan-keadaan yang
menyangkut permasalahannya.
2. Ketentuan-ketentuan
Kontrak
Dalam menerapkan hukum yang berlaku,
Majelis harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta
praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan.
3. Ex Aequo et Bono
Majelis dapat menerapkan kewenangan
yang bersifat amicable compositeur dan/atau memutuskan secara ex aequo et
bono, apabila para pihak telah menyatakan kesepakatan mengenai hal itu.
Pasal 16. Surat Permohonan Arbitrase
1. Pengajuan
Surat Permohonan Arbitrase, yang
berisi Tuntutan Pemohon yang disampaikan kepada BANI, oleh BANI, setelah
Majelis terbentuk, diteruskan kepada setiap anggota Majelis dan pihak lain
(para pihak).
2. Syarat-syarat
Surat
Permohonan Arbitrase harus memuat sekurang-kurangnya:
a. Nama dan alamat para
pihak;
b. Keterangan tentang
fakta-fakta yang mendukung Permohonan Arbitrase;
c. Butir-butir
permasalahannya; dan
d. Besarnya tuntutan
kompensasi yang dituntut.
3. Dokumentasi
Pemohon harus melampirkan pada Surat
Permohonan tersebut suatu salinan perjanjian bersangkutan atau
perjanjian-perjanjian yang terkait sehubungan sengketa yang bersangkutan dan
suatu salinan perjanjian arbitrase (jika tidak termasuk dalam perjanjian
dimaksud), dan dapat pula melampirkan dokumen-dokumen lain yang oleh Pemohon
dianggap relevan. Apabila dokumen-dokumen tambahan atau bukti lain dimaksudkan
akan diajukan kemudian, Pemohon harus menegaskan hal itu dalam Surat
Permohonan tersebut.
Pasal 17. Surat Jawaban Atas Tuntutan
1. Pengajuan
Dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari Termohon harus mengajukan Surat Jawaban kepada BANI untuk
disampaikan kepada Majelis dan Pemohon.
2. Syarat-syarat
Termohon harus, dalam Surat
Jawabannya, mengemukakan pendapatnya tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
huruf (b) dan (c) Pasal 16 ayat (2) diatas. Termohon juga dapat melampirkan
dalam Surat Jawabannya, dokumen-dokumen yang dijadikan sebagai dasar atau
menunjuk pada setiap dokumen-dokumen tambahan atau bukti lain yang akan
diajukan kemudian.
3. Tuntutan
Balik
a. Apabila Termohon
bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian
sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagai-mana yang
diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekonvensi)atau
upaya penyelesaian tersebut
bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama.
Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan
balik (rekonvensi) atau upaya
penyelesaian itu agar diajukan
pada suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu
beralasan sesuai ketentuan-ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) dan Pasal 16 ayat
(2) dan (3).
b. Atas
tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya
tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang
dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang
ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan
balik (rekon-vensi) atau upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak,
maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa,
dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.
c. Kelalaian para pihak atau
salah satu dari mereka, untuk membayar biaya administrasi sehubungan
dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda
kelanjutan penyelengga-raan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok
(konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi)
tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi)
atau upaya penyelesaian tuntutan.
4. Jawaban Tuntutan
Balik
Dalam hal Termohon telah mengajukan
suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau
upaya penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak dalam
jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk
mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian
tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 17 ayat (2) diatas.
Pasal 18. Yurisdiksi
1. Kompetensi
Kompetensi
Majelis berhak menyatakan keberatan
atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan
dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk
itu.
2. Klausul Arbitrase
Independen
Majelis berhak menentukan adanya atau
keabsahan suatu perjanjian di mana klausula arbitrase merupakan bagian. Suatu
klausula arbitrase yang menjadi bagian dari suatu perjanjian, harus
diperlakukan sebagai suatu perjanjian terpisah dari ketentuan-ketentuan lainnya
dalam perjanjian yang bersangkutan. Keputusan Majelis bahwa suatu kontrak batal
demi hukum tidak dengan sendirinya membatalkan validitas klausula
arbitrase.
3. Batas Waktu
Bantahan
Suatu dalih
berupa bantahan bahwa Majelis tidak berwenang harus dikemukakan
sekurang-kurangnya dalam Surat Jawaban atau, dalam hal tuntutan balik
(rekonvensi) atau upaya
penyelesaian dalam jawaban
terhadap tuntutan balik (rekonvensi)
atau upaya penyelesaian tersebut.
4. Putusan Sela
Dalam keadaan yang biasa, Majelis akan
menetapkan putusan yang menolak masalah yurisdiksi sebagai suatu Putusan Sela.
Namun, apabila dipandang perlu Majelis dapat melanjutkan proses arbitrase dan
memutuskan masalah tersebut dalam Putusan akhir.
Pasal 19. Dokumen-Dokumen dan Penetapan-Penetapan
1. Prosedur
Persidangan
Setelah menerima berkas perkara,
Majelis harus menentukan, atas pertimbangan sendiri apakah sengketa dapat
diputuskan berdasarkan dokumen-dokumen saja, atau perlu memanggil para pihak
untuk datang pada persidangan. Untuk maksud tersebut Majelis dapat memanggil
untuk sidang pertama dimana mengenai pengajuan dokumen-dokumen jika ada
atau mengenai persidangan jika diadakan, ataupun mengenai masalah-masalah
prosedural, dapat dikomunikasikan dengan para pihak secara langsung ataupun
melalui Sekretariat BANI.
2. Penetapan-penetapan
prosedural.
Majelis, berdasarkan
ketentuan-ketentuan ini, berhak penuh menentukan prosedur dan membuat penetapan-penetapan
yang dianggap perlu, dimana penetapan-penetapan tersebut mengikat para pihak.
Apabila dipandang perlu, Majelis dapat membuat ikhtisar masalah-masalah yang
akan diputus (terms of reference) yang ditandatangani Majelis dan para pihak.
Setidak-tidaknya Sekretaris Majelis harus membuat berita acara pemeriksaan dan
penetapan-penetapan prosedural dari Majelis, berita acara mana, setelah
ditandatangani oleh Majelis, menjadi dokumen pemeriksaan dan bahan bagi Majelis
dalam proses pemeriksaan selanjutnya.
3. Catatan.
Dalam hal masing-masing pihak ingin
membuat suatu catatan sendiri mengenai pemeriksaan atau sebagian dari
pemeriksaan, atas persetujuan Majelis, pihak yang bersangkutan dapat meminta
jasa petugas pencatat atau sekretaris independen untuk hal tersebut yang akan
menyampaikan catatannya kepada Majelis untuk diteruskan kepada para pihak.
Biaya pembuatan catatan itu adalah atas tanggungan pihak atau pihak-pihak yang
meminta, dan biaya tersebut harus dibayar dimuka kepada BANI untuk dibayarkan
kemudian kepada petugas bersangkutan setelah menerima bukti penagihan.
4. Biaya harus
dibayar.
Pemeriksaan atas perkara dan atau sidang tidak akan dilangsungkan
sebelum seluruh biaya-biaya arbitrase, sebagaimana diberitahukan oleh
Sekretariat kepada para pihak berdasarkan besarnya skala dari tuntutan dan
daftar biaya yang dari waktu ke waktu diumumkan oleh BANI, telah dibayar lunas
oleh salah satu atau kedua belah pihak.
5. Putusan Sela
Majelis berhak menetapkan putusan
provisi atau putusan sela yang dianggap perlu sehubungan dengan penyelesaian
sengketa bersangkutan, termasuk untuk menetapkan suatu putusan tentang sita
jaminan, memerintahkan penyimpanan barang pada pihak ketiga, atau penjualan
barang-barang yang tidak akan tahan lama. Majelis berhak meminta jaminan atas
biaya-biaya yang berhubungan dengan tindakan-tindakan tersebut.
6. Sanksi-sanksi
Majelis berhak menetapkan sanksi atas
pihak yang lalai atau menolak untuk menaati aturan tata-tertib yang dibuatnya
atau sebaliknya melakukan tindakan yang menghambat proses pemeriksaan sengketa
oleh Majelis.
Pasal 20. Upaya Mencari Penyelesaian Damai
1. Penyelesaian
Damai
Majelis pertama-tama harus
mengupayakan agar para pihak mencari jalan penyelesaian damai, baik atas upaya
para pihak sendiri atau dengan bantuan mediator atau pihak ketiga lainnya yang
independen atau dengan bantuan Majelis jika disepakati oleh para pihak.
2. Putusan
Persetujuan Damai
Apabila suatu penyelesaian damai dapat
dicapai, Majelis akan menyiapkan suatu memorandum mengenai persetujuan damai
tersebut secara tertulis yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah
pihak serta dapat dilaksanakan dengan cara yang sama sebagai suatu Putusan
dari Majelis.
3. Kegagalan Menyelesaikan secara damai
Apabila tidak berhasil dicapai
penyelesaian damai, Majelis akan melanjutkan prosedur arbitrase sesuai
ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 21. Kelalaian
Penyelesaian
1. Kelalaian
Pemohon
Dalam hal Pemohon lalai dan/atau tidak
datang pada sidang pertama yang diselenggarakan oleh Majelis tanpa suatu alasan yang
syah, maka Majelis dapat menyatakan Permohonan Arbitrase batal.
2. Kelalaian
Termohon
Dalam hal Termohon lalai mengajukan
Surat Jawaban, Majelis harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada
Termohon dan dapat memberikan
perpanjangan jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari untuk
mengajukan Jawaban dan/atau datang ke persidangan. Dalam hal Termohon juga
tidak datang ke persidangan setelah dipanggil secara patut dan juga tidak
mengajukan Jawaban tertulis, Majelis harus memberitahukan untuk kedua kalinya
kepada Termohon agar datang atau menyampaikan Jawaban. Apabila Termo-hon lalai
menjawab untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, Majelis serta-mertadapat
memutuskan dan mengeluarkan putusan berdasarkan dokumen-dokumen dan bukti yang
telah diajukan Pemohon.
Pasal 22. Perubahan-perubahan dan Pengajuan-pengajuan Selanjutnya
1. Perubahan-perubahan
Apabila pengajuan-pengajuan
sebagaimana dimaksud diatas telah lengkap, dan apabila sidang pertama telah dilangsungkan,
para pihak tidak berhak mengubah tuntutan dan/atau jawaban mereka sepanjang
menyangkut materi perkara, kecuali Majelis dan para pihak menyetujui perubahan
tersebut. Namun demikian, tidak diperkenankan mengubah tuntutan yang keluar
dari lingkup perjanjian arbitrase.
2. Pengajuan-pengajuan
lebih lanjut
Majelis harus memutuskan tentang
bukti-bukti tambahan dan/atau keterangan tertulis tambahan, selain Surat
Permohonan Arbitrase yang merupakan surat tuntutan dan Surat Jawaban, yang
diperlukan dari para pihak atau diajukan para pihak, dimana Majelis harus
menetapkan jangka waktu untuk penyampaian hal-hal tersebut. Majelis tidak wajib
mempertimbangkan setiap pengajuan tambahan selain yang telah ditetapkannya.
Pasal 23. Bukti dan Persidangan
1. Beban
Pembuktian
Setiap pihak wajib menjelaskan posisi
masing-masing, untuk mengajukan bukti yang menguatkan posisinya dan untuk
membuktikan fakta-fakta yang dijadikan dasar tuntutan atau jawaban.
2. Ringkasan
Bukti-bukti
Majelis dapat, apabila dianggap perlu,
meminta para pihak untuk memberikan penjelasan atau mengajukan dokumen-dokumen
yang dianggap perlu dan/atau untuk menyampaikan ringkasan seluruh dokumen dan
bukti lain yang telah dan/atau akan diajukan oleh pihak tersebut guna mendukung
fakta-fakta dalam Surat Permohonan Tuntutan atau Surat Jawaban, dalam jangka
waktu yang ditetapkan oleh Majelis.
3. Bobot
Pembuktian
Majelis harus menentukan apakah
bukti-bukti dapat diterima, relevan dan menyangkut materi
permasalahan dan memiliki kekuatan bukti.
4. Saksi-saksi
Apabila Majelis menganggap perlu
dan/atau atas permintaan masing-masing pihak, saksi-saksi ahli atau saksi-saksi
yang berkaitan fakta-fakta dapat dipanggil. Saksi-saksi tersebut oleh Majelis
dapat diminta untuk memberikan kesaksian mereka dalam bentuk tertulis. Majelis
dapat menentukan, atas pertimbangannya sendiri atau atas permintaan
masing-masing pihak, apakah perlu mendengar kesaksian lisan saksi-saksi
tersebut.
5. Biaya Para
Saksi
Pihak yang meminta pemanggilan seorang
saksi atau saksi ahli harus membayar dimuka seluruh ongkos yang diperlukan
berhubung dengan kehadiran saksi tersebut. Untuk maksud tersebut Majelis dapat
meminta agar terlebih dahulu disetorkan suatu deposit kepada BANI
6. Sumpah
Sebelum memberikan kesaksian mereka,
para saksi atau saksi-saksi ahli tersebut dapat diminta untuk diambil sumpahnya
atau mengucapkan janji.
7. Penutupan
Persidangan
Jika pengajuan bukti, kesaksian dan
persidangan telah dianggap cukup oleh Majelis, maka persidangan mengenai
sengketa tersebut ditutup oleh Ketua Majelis yang kemudian dapat menetapkan
suatu sidang untuk penyampaian Putusan akhir.
Pasal 24. Pencabutan Arbitrase
1. Pencabutan.
Sepanjang
Majelis belum mengeluarkan putusannya, Pemohon berhak mencabut tuntutannya
melalui pemberitahuan tertulis kepada Majelis, pihak lain dan BANI. Namun
demikian apabila Termohon telah mengajukan Surat Jawaban, dan/atau
tuntutan balik (rekonvensi), maka tuntutan hanya dapat dicabut kembali dengan
persetujuan Termohon. Apabila para pihak sepakat untuk mencabut
tuntutan/perkara setelah sidang dimulai, maka pencabutan tersebut dilakukan
dengan penetapan putusan oleh Majelis.
2. Pengembalian
Pembayaran Biaya-biaya.
Dalam hal persidangan belum dimulai,
seluruh ongkos yang dibayar, kecuali biaya pendaftaran, dikembalikan kepada
Pemohon dimana dilakukan perhitungan dengan biaya-biaya administrasi
Sekretariat BANI yang telah dikeluarkan. Apabila persidangan atau rapat-rapat
musyawarah telah dimulai, maka biaya administrasi, termasuk ongkos-ongkos yang
menjadi hak para arbiter yang dianggap wajar oleh Ketua BANI, setelah
berkonsultasi dengan Majelis, akan diperhitungkan dalam pengembalian tersebut.
Pasal 25. Putusan Akhir
Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu
paling lama 30 hari terhitungsejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis
mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya.
Pasal 26. Putusan-Putusan Lain
Selain menetapkan Putusan akhir,
Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau
Putusan-putusan parsial.
Pasal 27. Mayoritas
Apabila Majelis terdiri dari tiga
(atau lebih) arbiter, maka setiap putusan atau putusan lain dari Majelis, harus
ditetapkan berdasarkan suatu putusan mayoritas para arbiter.
Apabila terdapat perbedaan pendapat
dari arbiter mengenai bagian tertentu dari putusan, maka perbedaan
tersebut harus dicantumkan dalam Putusan.
Apabila diantara para arbiter tidak
terdapat kesepakatan mengenai putusan atau bagian dari putusan yang akan
diambil, maka putusan Ketua Majelis mengenai hal yang bersangkutan yang
dianggap berlaku.
Pasal 28. Penetapan-penetapan Prosedural
Untuk hal-hal yang bersifat
prosedural, apabila tidak terdapat kesepakatan mayoritas, dan apabila Majelis
menguasakan untuk hal tersebut, Ketua Majelis dapat memutuskan atas
pertimbangan sendiri.
Pasal 29. Pertimbangan Putusan
Putusan harus dibuat tertulis dan
harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar Putusan tersebut,
kecuali para pihak setuju bahwa pertimbangan-pertimbangan itu tidak perlu
dicantumkan.
Putusan Majelis ditetapkan berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Pasal 30. Penandatanganan Putusan
Putusan harus ditandatangani para
arbiter dan harus memuat tanggal dan tempat dikeluarkannya. Apabila ada tiga
Arbiter dan satu dari mereka tidak menandatangani, maka dalam Putusan tersebut
harus dinyatakan alasannya.
Pasal 31. Penyampaian
Dalam waktu 14 (empat belas) hari,
Putusan yang telah ditandatangani para arbiter tersebut harus disampaikan
kepada setiap pihak, bersama 2 (dua) lembar salinan untuk BANI, dimana salah
satu dari salinan itu akan didaftarkan oleh BANI di Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
Pasal 32. Final dan Mengikat
Putusan bersifat final dan mengikat
para pihak. Para pihak menjamin akan langsung melaksanakan Putusan tersebut.
Dalam Putusan tersebut, Majelis
menetapkan suatu batas waktu bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan Putusan
dimana dalam Putusan Majelis dapat menetapkan sanksi dan/atau denda dan/atau
tingkat bunga dalam jumlah yang wajar apabila pihak yang kalah lalai dalam
melaksanakan Putusan itu.
Pasal 33. Pendaftaran
Kerahasiaan proses arbitrase tidak
berarti mencegah pendaftaran Putusan pada Pengadilan Negeri ataupun
pengajuannya ke Pengadilan Negeri dimanapun dimana pihak yang menang dapat
meminta pelaksanaan dan/atau eksekusi Putusan tersebut.
Pasal 34. Pembetulan Kesalahan-Kesalahan
Dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari setelah Putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan ke
BANI agar Majelis memperbaiki kesalahan-kesalahan administratif yang mungkin
terjadi dan/atau untuk menambah atau menghapus sesuatu apabila dalam Putusan
tersebut sesuatu tuntutan tidak disinggung.
Pasal 35. Daftar Biaya
Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu
daftar terpisah dan terlampir pada Peraturan Prosedur ini. Daftar tersebut
dapat diperbaiki atau diubah dari waktu ke waktu apabila dipandang perlu oleh
BANI.
Pasal 36. Pembayaran Biaya
BANI harus menagih kepada setiap pihak
setengah dari estimasi biaya arbitrase, dan memberikan jangka waktu secepatnya
untuk membayarnya. Apabila suatu pihak lalai membayar bagiannya, maka jumlah
yang sama harus dibayarkan oleh pihak lain yang kemudian akan diperhitungkan
dalam Putusan dengan kewajiban pihak yang lalai membayar tersebut.
BANI atas permintaan Majelis yang
bersangkutan dapat meminta penambahan biaya dari waktu ke waktu selama
berlangsungnya arbitrase apabila Majelis menganggap bahwa perkara yang sedang
diperiksa atau besarnya tuntutan ternyata telah meningkat daripada yang semula
diperkirakan.
Pasal 37. Alokasi
Majelis berwenang menentukan pihak
mana yang harus bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian
pembayaran kepada pihak lain, untuk seluruh atau sebagian biaya-biaya itu,
pembagian mana harus dicantumkan dalam Putusan.
Pada umumnya apabila salah satu pihak
sepenuhnya berhasil dalam tuntutannya maka pihak lawannya memikul seluruh
biaya dan apabila masing-masing pihak berhasil memperoleh sebagian dari
tuntutannya, biaya-biaya menjadi beban kedua belah pihak secara proporsional.
Pasal 38. Biaya-biaya Jasa Hukum
Kecuali dalam keadaan-keadaan khusus,
biaya-biaya jasa hukum dari masing-masing pihak harus ditanggung oleh pihak
yang memakai jasa hukum tersebut dan biasanya tidak akan diperhitungkan
terhadap pihak lainnya. Namun apabila Majelis menentukan bahwa suatu tuntutan
menjadi rumit atau bahwa suatu pihak secara tidak sepatutnya menyebabkan
timbulnya kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan dalam kemajuan proses
arbitrase, maka biaya jasa hukum dapat dilimpahkan kepada pihak yang
menimbulkan kesulitan tersebut.
Pasal 39. Biaya-biaya Eksekusi
Biaya-biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh pihak yang
kalah dan yang lalai untuk memenuhi ketentun-ketentuan dalam Putusan.
5.
CONTOH KASUS
KASUS KARTIKA PLAZA VS AMCO
ASIA
Fakta – Fakta Hukum
Para Pihak
- Penggugat :
AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas :
1. Amco Asia
Corporation
2. Pan American
Development
3. PT. Amco
Indonesia
- Tergugat :
Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM)
Kasus Sengketa
Pencabutan izin
investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan
untuk jangka waktu 30 tahun.Namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika
baru memasuki tahun ke 9.
Duduk Perkara ( Kasus Posisi )
Kasus posisi
semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik
PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad).
Pada 1968,
Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco
Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plaza dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak
membuat perjanjian pembagian keuntungan
dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelola hotel itu,
dan menyetorkan separuh keuntungan kepadaWisma Kartika.
Tapi kerja sama
itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan.Kedua pihak
bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor keuntungan dan modal yang
harus disetor.
Puncaknya, pada
Maret 1980 pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaanAmco
Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah urus" dan
melakukan kecurangan keuangan.Amco Indonesia tak bisa menerima
"kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk
Kartika Plaza hamper US$ 5 juta. Kecuali
itu,Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah menyetorkan
keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400juta. Begitu pula pembagian
keuntungan untuk Wisma Kartika pada1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan.
Pada Juli 1980
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha AmcoIndonesia
karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan.,yang seharusnya
menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$1,4 juta.
Secara singkat
:
:
Tahun 1968
wisma kartika menandatangani kerjasama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco
Indonesia
Amco Indonesia
setuju untuk membangun Kartika Plaza dengan modal US$4 juta
Keduabelah
pihak membuat perjanjian pembagian keuntungan dan kontrak managemen berdasarkan
lease and management (profit-sharing) atas hotel kartika plaza.
Salahsatu
klausula dalam perjanjian itu adalah menyerahkan kepada ICSID bila muncul
sengketa dikemudian hari
Maret 1980,
wisma kartika mengambilalih pengelolaan kartika plaza karena menganggap amco
Indonesia telah salah manajemen dan melakukan kecurangan sehingga Indonesia
tidak mendapat bagian saham.
Pada Juli 1980
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha AmcoIndonesia
karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan
Hasil Putusan
Ketiga badan
hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase
ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara tidak
wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di
Indonesia.Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi
penanaman modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Kasus sengketa
antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia telah
diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan
bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap
ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah
Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah
melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para
investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT.
Amco Indonesia. dengan arbiter Isl Foighel dari Danish dan Edward W. Rubin dari
kanada.
Dalam tingkat
kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari permohonan
Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat pertama yang
berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai dengan hukum
Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing
dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat
pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya
kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal
selfhelp) terhadap penanaman modal asing dengan arbiter Florentio P. Feliciano dari filipina dan
Andrea Giardina dari kanada.
Putusan tingkat
ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan
kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan
lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US
$ 3.200.000 pada tingkat pertama dengan arbiter Arghyrio A. Fatouros dari greek dan Dietrich
dari swiss.
Dalam sengketa
ini, persyaratan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada ICSID telah
terpenuhi, yaitu:
1. Para pihak telah sepakat untuk mengajukan sengketanya pada ICSID, hal
ini tercantum dalam salahsatu klausul dalam perjanjian antara Indonesia dan
Amco Asia
2. keduabelah pihak yang
bersengketa , yaitu Indonesia dan Amco Asia merupakan pihak yang telah
menandatangani konvensi
3.sengketa antara Indonesia dan
Amco asia ini merupakan sengketa penanaman modal (investasi).
6.
Kesimpulan
Proses beracara secara Arbitrase belum menjadi
pilihan Utama dari pada kebanyakan Orang bersengketa yang masuk rana Arbitrase,
ini merupakan ketidak tahuan atau kurangnya sosialisasi tentang Arbitrase itu sendiri. Semoga bermanfaat bagi
para penegak hukum, masyarakat dan para pembaca untuk mengetahui apa arbitrase
itu, apakah ada kaitan dengan peradilan hubungan industrial, dasar hukum
arbitrase, tata cara beracara di lembaga arbitrase dan contoh kasus yang ada.
Disusun Oleh Roy R. Pangkey, S.H.
Langganan:
Postingan (Atom)