Minggu, 26 Februari 2017

AHOK

"Hukum bukan Politik"

Menurut dan pendapat hukum saya terhadap polemik diaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyebutkan: "Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Dihubungkan dengan kasus Ahok yang masih dalam tahap PERSIDANGAN didakwa dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara atau didakwa dengan Pasal 156 a soal Penodaan Agama yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara dan masih dalam proses pemeriksaan saksi belum terdapat putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Belum terdapat Putusan yang berkekuatan hukum tetap jelas seseorang belum bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana atau sebaliknya bisa saja dalam putusan hakim menyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam pasal 156 KUHP atau 156a KUHP artinya Bebas menurut hukum.
Dengan demikian Ahok jelas masih berdasar asas praduga tak bersalah atau bahkan ancaman '5 tahun' tersebut, lantas Ahok harus dinonaktifkan? Saya berbeda pendapat dengan Prof Mahfud MD (mantan ketua MK) yang apabila sudah menjadi terdakwa maka kepala daerah harus dinonaktifkan. 
Haruslah kita tafsirkan secara yuridis yang termuat dalam pasal 83 UU Pemda, dikatakan paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Jadi, menurut saya tidak masuk dikarenakan kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan atau yang dilakukan terdakwa tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apakah perkara Ahok dapat memecah belah NKRI ? Haruslah arif dan bijaksana dalam penafsiran yang dalam posisi NETRAL bahwa Ahok belum dinyatakan bersalah apabila belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
"Pasal tersebut sudah menyatakan secara spesifik untuk hal-hal tersebut, bahwa korupsi berapapun ancaman hukumannya akan diberhentikan sementara. Sama juga dengan tindak pidana terorisme, makar dan kejahatan terhadap NKRI dan jika pasal 83 UU Pemda itu diterapkan untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan Gubernur DKI dan yang jelas Ahok bukan dalam perkara korupsi, makar dan terorisme ataupun yang bisa memecah belah NKRI.

Rabu, 08 Juni 2016

PERSYARATAN MENJADI ADVOKAT

 PERSYARATAN MENJADI ADVOKAT
 
Advokat merupakan profesi terhormat "Officium Nobile" dan orang yang bertugas memberi jasa hukum baik didalam pengadilan maupun diluar pengadilan sesuai keahlihannya. bertindak dan atas nama serta mendampingi ataupun mewakili seseorang maupun badan hukum dalam hal suatu perkara disidang pengadilan maupun diluar sidang pengadilan.
Sebelum UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat disahkan maka Advokat biasa dikenal dengan sebutan Pengacara, Kuasa Hukum, Konsultan Hukum.
Menjadi Advokat tidaklah muda harus mengikuti berbagai tahapan yang menurut hemat saya butuh waktu lama untuk menjadi Advokat dan itupun harus lulus dari tahapan pertama sampai Advokat bisa mendirikan Kantor Bantuan Hukum.
berikut ini tahapan-tahapan ketika seseorang diangkat Advokat :
1.      Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”);
2.      Mengikuti Ujian Profesi Advokat (“UPA”);
3.      Mengikuti magang di kantor advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus-menerus di kantor advokat;
4.      Pengangkatan dan Sumpah Advokat.
Empat tahapan ini memerlukan waktu yang lama bertahun-tahun untuk mewujudkan impian menjadi Advokat dan itupun kalau lulus ujian.

I.             PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat)
PKPA dilaksanakan oleh organisasi advokat. Yang dapat mengikuti PKPA adalah sarjana yang berlatar belakang/lulusan (lihat penjelasan Pasal 2 ayat [1] UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat):
1.      Fakultas Hukum;
2.      Fakultas Syariah;
3.      Perguruan Tinggi Hukum Militer; atau
4.      Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.
Persyaratan calon peserta PKPA (lihat Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Peradi No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat):
a.      Menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi;
b.      Menyerahkan 1 (satu) lembar fotokopi ijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan yang telah dilegalisir;
c.         Menyerahkan 3 (tiga) lembar foto berwarna ukuran 4x6;
d.      Membayar biaya yang telah ditetapkan untuk mengikuti PKPA, yang dibuktikan dengan fotokopi bukti pembayaran;
e.      Mematuhi tata tertib belajar;
f.   Memenuhi ketentuan kehadiran sekurang-kurangnya 80% (delapan puluh persen) dari seluruh sesi PKPA.
Jika sudah memenuhi persyaratan mengikuti PKPA maka Organisasi Advokat PERADI memiliki tanggung jawab dalam memberikan materi-materi  Dalam pendidikan PKPA para peserta diberikan materi-materi berkaitan dengan ilmu hukum itu sendiri sesuai jangka waktu yang ditentukan panitia PKPA.
Sertifikat PKPA
Apabila peserta telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat sesuai dengan ketentuan-ketentuan di atas, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat oleh penyelenggara PKPA (lihat Pasal 11 Peraturan Peradi No. 3 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Profesi Advokat).
 
II.          UPA
Setelah mengikuti PKPA, calon advokat harus mengikuti UPA yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Dalam UPA yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (“Peradi”) ditentukan bahwa yang dapat mengikuti UPA adalah pihak-pihak yang telah mengikuti PKPA yang diselenggarakan perguruan tinggi atau institusi lain yang mendapat persetujuan dari PERADI.
Persyaratan umum mengikuti UPA:
1.      Warga Negara Indonesia;
2.      Mengisi Formulir pendaftaran, dengan melampirkan:
a.      Fotokopi KTP;
b.      Fotokopi Bukti Setor Bank biaya ujian advokat;
c.      Pas foto berwarna 3 X 4 = 4 lembar;
d.      Fotokopi Ijasah (S1) berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh perguruan tinggi yang mengeluarkannya;
e.      Fotokopi Sertifikat pendidikan khusus profesi advokat.
Peserta yang lulus UPA akan menerima sertifikat lulus UPA dari organisasi advokat.
 
III.       MAGANG
Untuk dapat diangkat menjadi advokat, seorang calon advokat harus mengikuti magang di kantor advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus-menerus di kantor advokat. Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, yang penting adalah magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun (lihat Pasal 3 ayat [1] huruf g UU Advokat).
Persyaratan umum calon advokat magang
Calon Advokat yang hendak menjalani magang wajib mengajukan permohonan magang kepada Kantor Advokat yang memenuhi persyaratan dengan syarat-syarat sebagai berikut (lihat Pasal 5 Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat):
a.      Warga negara Indonesia;
b.      Bertempat tinggal di Indonesia;
c.      Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d.      Lulusan pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”);
e.      Telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh PERADI dan telah lulus Ujian Advokat.
Dokumen-dokumen yang harus diserahkan
Berikut adalah dokumen-dokumen yang harus diserahkan ke Peradi dalam rangka memenuhi prasyarat magang calon advokat:
a.      surat pernyataan Kantor Advokat
b.      Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang
c.      Fotokopi KTP calon Advokat magang
d.      Pas foto berwarna (berlatar belakang warna biru) dari calon advokat ukuran 2x3 dan 3x4 masing-masing sebanyak 3 (tiga) lembar
e.      Surat pernyataan tidak berstatus pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI atau Kepolisian RI atau pejabat negara
f.       Fotokopi ijazah pendidikan tinggi hukum yang telah dilegalisir oleh perguruan tinggi hukum yang mengeluarkannya
g.      Fotokopi sertifikat Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Peradi
h.      Fotokopi sertifikat kelulusan Ujian Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Peradi
i.        Fotokopi kartu tanda pengenal advokat (KTPA) pimpinan kantor advokat dan advokat pendamping
j.        Surat keterangan dari kantor advokat
k.      Laporan penanganan perkara bagi calon advokat yang telah bekerja dan telah ikut membantu penanganan sedikitnya 3 (tiga) perkara pidana dan 6 (enam) perkara perdata dari advokat pendamping
l.        Surat keterangan honorarium/slip gaji/bukti pemotongan PPh Pasal 21 atau kartu Jamsostek dari kantor advokat atau surat keterangan pengganti tidak mendapatkan gaji.
Peradi akan mengeluarkan Izin Sementara Praktik Advokat segera setelah diterimanya Laporan Penerimaan Calon Advokat Magang dari Kantor Advokat (lihat Pasal 7A Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat). Laporan sebagaimana disebut di atas harus pula disertai dengan pas foto berwarna Calon Advokat (lebih disukai yang berlatar belakang biru) berukuran 2x3 sebanyak 3 lembar.
Kewajiban calon advokat magang
Berikut ini adalah hal-hal yang wajib dipenuhi calon advokat magang selama melaksanakan magang di kantor advokat (lihat Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat):
1.      Selama masa magang (2 tahun), Calon Advokat harus membuat sedikitnya 3 (tiga) laporan persidangan (Laporan Sidang) perkara pidana yang bukan merupakan perkara sumir dan 6 (enam) Laporan Sidang perkara perdata, dengan ketentuan;
a.      Laporan-laporan Sidang tersebut adalah laporan atas setiap sidang yang dimulai pada sidang pertama sampai dengan adanya putusan atas masing-masing perkara dimaksud.
b.      Perkara-perkara dimaksud tidak harus merupakan perkara-perkara yang ditangani oleh Kantor Advokat tempat Calon Advokat melakukan magang.
2.      Selama masa magang, calon advokat dapat diberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik di bidang lainnya kepada Calon Advokat, antara lain:
a.      Berpartisipasi dalam suatu pekerjaan kasus atau proyek, baik di bidang litigasi maupun non-litigasi;
b.      Melakukan riset hukum di dalam maupun di luar Kantor Advokat;
c.      Menyusun konsep, laporan tentang pekerjaan yang dilakukannya berupa memo, minuta, korespondensi e-mail, perjanjian-perjanjian, dan dokumen hukum lainnya;
d.      Menerjemahkan peraturan, memo, artikel dari bahasa Indonesia ke bahasa asing ataupun sebaliknya; dan/atau
e.      Menganalisa perjanjian atau kontrak.
 
Hak-hak calon advokat magang
Calon advokat yang melaksanakan magang di kantor advokat memiliki hak-hak sebagai berikut (lihat Petunjuk Teknis Pelaksanaan Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat dan Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat):
1.      Berhak didampingi oleh advokat pendamping selama masa magang di kantor advokat;
2.      berhak tidak dimintai imbalan oleh kantor advokat tempat melakukan magang;
3.      berhak diberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik;
4.      berhak menerima Izin Sementara Praktik Advokat dari Peradi sesuai ketentuan;
5.      berhak diikutsertakan di dalam surat kuasa, dengan syarat bahwa di dalam surat kuasa tersebut, terdapat Advokat Pendamping;
6.      di akhir masa magang, calon advokat berhak mendapatkan Surat Keterangan Magang dari kantor advokat sebagai bukti bahwa Calon Advokat tersebut sudah menjalani magang untuk memenuhi persyaratan magang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat.
Larangan bagi calon advokat magang
Calon advokat yang melaksanakan magang dilarang melakukan hal-hal di bawah ini (lihat Pasal 7B Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat):
1.      memberikan jasa hukum secara langsung kepada klien, tetapi semata-mata mendampingi/membantu Advokat Pendamping dalam memberikan jasa hukum
2.      Calon Advokat pemegang Izin Sementara tidak dapat menjalankan praktik Advokat atas namanya sendiri.
 
IV.        PENGANGKATAN DAN SUMPAH ADVOKAT
Untuk dapat diangkat sebagai advokat, calon advokat harus telah memenuhi tahapan-tahapan dan persyaratan sebagaimana diuraikan di atas. Selain itu, ada syarat lain yakni telah berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun (lihat Pasal 3 ayat [1] huruf d UU Advokat).
Setelah diangkat oleh organisasi advokat, calon advokat resmi berstatus sebagai advokat. Namun, advokat yang baru diangkat oleh organisasi advokat belum dapat menjalankan profesinya sebelum melalui tahapan atau persyaratan selanjutnya yaitu mengucapkan sumpah advokat.
Sumpah advokat diatur dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU Advokat, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
 
Pasal 4
(1) Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut:
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji:
-          bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
-          bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
-          bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
-          bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
-          bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
-          bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
(3) Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.
 
Toga advokat
Saat mengucapkan sumpah/janji advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi, advokat wajib mengenakan toga advokat. Toga advokat adalah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No: M.07.UM.01.06 Tahun 1983 Tanggal: 16 Desember 1983.
Menjadi anggota organisasi advokat
Menurut Pasal 30 ayat (2) UU Advokat, setiap advokat yang diangkat berdasarkan UU Advokat wajib menjadi anggota Organisasi Advokat. seperti diketahui pengangkatan advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (lihat Pasal 2 ayat (2) UU Advokat).
Buku daftar anggota dan kartu advokat
Nama advokat yang menjadi anggota Organisasi Advokat dicantumkan dalam Buku Daftar Anggota. Di dalam Buku Daftar Anggota dicantumkan pula nomor induk/keanggotaan advokat pada Organisasi Advokat.
Tanda keanggotaan pada Organisasi Advokat juga ditunjukkan dengan kartu tanda pengenal advokat yang mencantumkan nomor induk/keanggotaan advokat. Dalam menjalankan tugas profesinya sehari-hari, kartu tanda pengenal advokat harus selalu dibawa oleh advokat sebagai bagian dari identitas diri dan profesional advokat.
Itulah syarat menjadi Advokat kiranya bisa menjadi keuntungan bagi pembaca, terima kasih salam Officium Nobile.

Minggu, 20 September 2015

DASAR HUKUM KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI



DASAR HUKUM KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

Pada dasarnya perbuatan yang dapat dipidanakan adalah dimana perbuatan yang telah diatur dalam system hukum atau biasa disebut asas legalitas “nullum delictum nula poena sine preivia lege poenale”, namun dengan kewenangan institute atau lembaga manapun di Negara Indonesia jika tidak ada dasar hukum maka itu merupakan perbuatan melawan hukum.
Sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981 yang telah dikodifikasi, sesuai dengan Pasal 6 KUHAP, maka yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara R.I dan Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi kewenangan khusus (dalam hal ini tidak termasuk kejaksaan), sehingga di Negara R.I ini Kepolisian merupakan penyidik tunggal terhadap perkara apapun. Didalam peraturan peralihan KUHAP yaitu Pasal 284 ayat (2) disebutkan: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiaan untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” Dengan penjelasan tersebut bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan,penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU nomor 7 Drt tahun 1955 dan UU tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi. Untuk tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983 dalam Pasal 17 secara tegas menyebutkan Kejaksaan sebagai Penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih lengkapnya isi Pasal tersebut adalah sebagai berikut : “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada saat berlakunya KUHAP, di mana ditetapkan bahwa tugas-tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum.
Andi Hamzah, dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana halaman 159, Andi Hamzah perpendapat bahwa petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan dan penuntutan tidak dapat dipisahkan. sehingga dengan demikian sebenarnya kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun.
Lex specialis derogath legi generalis merupakan asas yang mengatur UU yang khusus menyampingkan UU umum maka dengan demikian sesuai UU Kejaksaan yakni UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 huruf d Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. kemudian ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP JoPasal 17 Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindakpidana khusus). Di samping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum keJaksaan melakukan penyidikan adalah Pasal 2 TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan menugaskan Kejaksaan untuk melakukan akselerasidalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan: Tugas dan kewenangan Jaksa adalah: “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU”. Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengantindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Jo. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi Kejaksaan sebagai penyidik dalam perkaratindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat dipahami dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam praktek peradilan ada pengadilan yang tidak dapat menerima alasan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan jawaban untuk menanggapi persoalan hukum tersebut dengan mengeluarkan pendapat/fatwa nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian bahwa Jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dengan dasar:
§  Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001
§  Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
§  Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
§  Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
§  Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004.
Konstruksi hukum Mahkamah Agung yaitu bahwa berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukanberdasarkan hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga oleh karena KUHAP ada aturan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya jo Pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas Jaksa memiliki kewenangan dalam menyidik tindak pidana korupsi.
Menurut Swarsono pembagian kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan Kejaksaan secara tegas (strict) seperti keinginan pemohon merupakan dalil yang keliru. Sebab, dalam praktik di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan dari wewenang melakukan penuntutan. “Seperti di Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama praktek di Jepang, Jerman,dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP Rumania dan RRC penyidikan delik korupsi khusus wewenang Jaksa,”

Kamis, 02 April 2015

ARBITRASE


ARBITRASE 

YANG DIMAKSUD DENGAN LEMBAGA ARBITRASE ?
 APAKAH LEMBAGA ARBITRASE BERKAITAN DENGAN PHI ?
 DASAR HUKUM LEMBAGA  ARBITRASE ?
 TATA CARA / PROSES PERKARA PADA LEMBAGA ARBITRASE ?
  CONTOH KASUS ?

1.        ARBITRASE
A. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration (inggris) dan sheidspruch (jerman), yang berarti kekuasaan  untuk menyelesaikan sengketa menurut kebijaksanaan  atau perdamaian melalui arbiter atau wasit.
Dalam hubungan bisnis atau perjanjian selalu ada kemungkinan timbulnya suatu sengketa, untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih yaitu melalui Negosiasi, Mediasi, Pengadilan, dan Arbitrase.
Definisi arbitrase termuat dalam  Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999  “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Pengertian lembaga arbitrase termuat dalam  Pasal I angka 8 UU Nomor 30 Tahun 1999 “ Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”. Dalam literature dijumpai beberapa pendapat oleh para ahli hukum tentang arbitrase diantaranya :
1. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya “How Arbitration Works” disebutkan bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
2. Gary Goodpaster, mengemukakan sebagai berikut :“Arbitration is the private adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision maker they in some fashion select”. 
3. Subekti, menyebutkan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
4. Priyatna Abdurrasid mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
5. M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
6. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut :“Arbitration is the reference of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to the dispute who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, istead of carrying it to establishtribunal of justice, an is intended to avoid the formalities  the delay, the expense and taxation of ordinary litigation”. 
7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
8. Arbitrase menurut Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for the settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted. 
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam Arbitrase harus tertulis, bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak;
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Sesungguhnya jika kita buka lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa pranata arbitrase ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615 sampai dengan 651 R.v. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan serta fungsi arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan.Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.

B. Obyek Sengketa dalam Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang putusannya bersifat final dan mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu :“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa :“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian”. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
C. Keuntungan Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai berikut:
a. Kecepatan dalam proses
Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan. Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase … harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan.”)
Demikian pula, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan: “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.”
Sebelum berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan banding atas putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta dan penerapan hukumnya.Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal 641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung.)Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award, irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as binding and,… shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara mana pun ia dijatuhkan.
b. Pemeriksaan ahli di bidangnya
Untuk memeriksa dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai hal-hal yang disengketakan.Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya.Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan lain-lain.
c. Sifat konfidensialitas
Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan.Dengan demikian, penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: “Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”
Berbeda dari arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus dilakukan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.
Sebagai perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan bahwa pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. kerahasiaan sengketa para pihak dijamin;
b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Penjelasan UU No. 30/1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu satunya kelebihan arbitrase dibandingkan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak dipublikasikan.Selanjutnya, di dalam Penjelasan disebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.
Berdasarkan penelitian penulis tentang keefektifan penggunaan arbitrase dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga;
b. dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan
c. kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
Dengan beberapa alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebih efektif daripada penyelesaian sengketa di pengadilan.Namun demikian, selain beberapa keuntungan atas pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa kelemahan yang perlu mendapat perhatian dari para pihak yang bersengketa dan penasehat hukumnya, para praktisi hukum lainnya, dan dari kalangan akademisi, termasuk ahli arbitrase.Jika beberapa kelemahan tersebut (lihat uraian kelemahan arbitrase) tidak diantisipasi, maka hal itu dapat membuat arbitrase kehilangan baik daya guna (keefektifan) maupun hasil guna (efisiensi)-nya.
Di bawah ini keutungan menggunakan Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari tinjauan undang-undang : Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia” dalam buku Arbitrase di Indonesia” , menyebutkan ada beberapa alasan memilih arbitrase, yaitu :
a. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan;
b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;
g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga menyebutkan beberapa alasan yang menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase demikian populer dalam transaksi dagang internasional, antara lain :
• Dihindarkannya publisitas;
• Tidak banyak formalitas;
• Bantuan pengadilan hanya taraf eksekusi;
• Baik untuk pedagang-pedagang bonafide;
• Ada jaminan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
• Lebih murah dan lebih cepat.
Mengutip penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu antara lain :
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Dari keterangan di atas dapat dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketa, misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih menguntungkan apabila kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik dianggap sebagai salah satu sarana mencapai tujuan perusahaan dan demi berlangsungnya sebuah perusahaan tersebut, begitu juga dengan pihak yang tergolong orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa mempercepat dicapainya solusi atas sebuah sengketa karen prosedural dan administratif juga lebih mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai dengan sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter yang dipilih bisa dari arbiter yang ahli dalam bidang cyber law sehingga diharapkan putusan akan lebih diterima oleh para pihak. Begitu juga dengan pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang paling sesuai dengan persoalan yang sedang dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai kesepakatan para pihak.Arbitrase diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan para pihak dan mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang masuk kepada kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan penyelesaian sengketa alternatif.
D. Kelemahan Arbitrase
Beberapa faktor yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut:
a. Hanya untuk para pihak bona fide
Arbitrase hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur dan dapat dipercaya.Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya, jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya, bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.
Sering ditemui di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan.Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di dalam perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. (Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase…”)
b. Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil). Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali (melalui proses banding).
Meskipun semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan mutlak arbiter serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak sependapat; dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan.Artinya, itu merupakan risiko yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko tersebut harus diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh karena itulah para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter (yang terbaik dan paling menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka.
c. Tidak ada preseden putusan terdahulu
Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan.Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya.Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama.
d. Masalah putusan arbitrase asing
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya.Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus dieksekusi.Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.
Meskipun ADR memiliki beberapa keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme yang rentan terutama untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahan-kelemahan, di antaranya :
a. ADR belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga ADR yang ada.
c. Lembaga ADR tidak mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun keputusannya bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui “fiat eksekusi” pengadilan.Jadi wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.
e. Kurangnya kesediaan para pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya. Budaya litigasi yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution, dan bukan win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.
f. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu konvensi-konvensi seperti : Convention of the settlement of Investment Disputes Between States and National of Other State atau Convention on the Recognition And Enforcement of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita dapat mengemukakan beberapa jenis arbitrase yaitu :
1. Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.
2. Arbitrase institusional;
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering disebut “permanent arbitral body” .Arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.
F. Keputusan Arbitrase
Putusan arbirase umumnya mengikat para pihak.Penaatan terhadapnya dipandang tinggi.Biasanya putusannya bersifat final dan mengikat.Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para pihak sendiri atas kesadaran akan penyelesaian sengketa. Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk diputuskan olehnya. Berdasarkan pada “tempat di mana arbitrase tersebut diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam : 
1. Putusan arbitrase nasional, yang merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik Indonesia;
2. Arbitrase Internasional atau arbitrase asing, Yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di luar negara Republik Indonesia.
Untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional, didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut.Kalau mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional. Sebaliknya walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan berkewarganegaraan Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya, maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan putusan arbitrase internasional.
G. Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI )
Badan Arbitrase Nasional Indonesia ( BANI ) adalah sebuah badan yang mempunyai hubungan erat dengan KAMAR DAGANG dan INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat Internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI adalah bebas (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain. Indonesia mulai memiliki pusat arbitrase nasional sejak tahun 1977.Indonesia juga memiliki sebuah lembaga arbitrase yang dipusatkan pada transaksi rencana perbankan dan keuangan Islam. Lembaga ini dikenal sebagai BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Yayasan BAMUI, sebagai sebuah mekanisme alternatif yang menyangkut perselisihan komersial di Indonesia. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitarase BANI jika sidang pertama pemohon tidak hadir, tanpa adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan dinyatakan gugur. Hal ini sesuai dengan ketentuan HIR mengenai perkara perdata. Namun jika termohon yang tidak datang pada sidang pertama maka akan dipanggil sekali lagi untuk menghadap di muka sidang pada waktu kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya empat belas hari lagi sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Jika termohon tidak datang juga, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya si termohon dan tuntutan si pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu oleh BANI dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini sesuai dengan verstek dalam HIR.14 Ini berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional yang bersifat nasional karena arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase oleh BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai dan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada pasal 14 peraturan prosedur BANI yaitu :
• Alat bukti keterangan para pihak dalam bentuk pengakuan,
• Alat bukti keterangan saksi,
• Alat bukti keterangan ahli.
Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa “serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu”, ini berarti sesuai dengan praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti sumpah. Diharapkan dalam alternatif penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin tingginya keadilan yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi ditangani dengan pengadilan ataupun penyelesaian sengketa alternatif.

2.        KAITAN LEMBAGA ARBITASE DENGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memberi peluang pada para pihak untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase.Perkara yang ditangani lembaga arbitrase adalah sengketa perihal perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan di dalam suatu perusahaan. Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial Sesuai ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak, putusan arbitrase bersifat pinal dan tetap, karena itu tidak dapat diajukan gugatan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), terkecuali bila dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan pembatalan ke MA (Mahkamah Agung) RI. Arbiter untuk penyelesaian sengketa hubungan industrial diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan.Ia bertugas untuk memberikan putusan atas penyelesaian perselisihan hubungan industrial dimaksud. Terhadap putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan , pihak yang meragukan dapat memajukan tuntutan ingkar terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasanalasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Untuk perkara seperti ini Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan terhadap hal tersebut tidak dapat diajukan perlawanan. Apabila untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut Arbitrase dapat mencapai kesepakatan, maka Arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan eorang Arbiter atau Majelis Arbiter.Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan di Pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan sebagaimana lazimnya mengeksekusi suatu putusan.Putusan Kesepakatan Arbitrase tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masingmasing pihak satu rangkap, serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.Terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi. Karenanya terhadap sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).

3.        DASAR HUKUM LEMBAGA ARBITRASE
Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
B. Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa :
“Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
C. Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga BabPertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
– Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
– Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
– Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
E. Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:“Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 :“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”.Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
H. Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
I. Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
J. UU No. 30 Tahun 1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, makapemerintah mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO.30 Tahun1999.
Pengaturan Arbitrase Sebelum UU No. 30 Tahun 1999
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615 s.d. Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan mereka.Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum acaranya Rv.Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW dan WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J. Burns (di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional antara Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji.Menurutnya telah terjadi ironi dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri.Identitas tersebut (termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan.Walaupun aturan-aturan hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia kemudian menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara perdata setelah Indonesia merdeka.
Selanjutnya, ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg disebutkan bahwa: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.”
Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau arbitrase;
b. juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan
c. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa.
Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab I (dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 615 s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.
2. Pasal 624 s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.
3. Pasal 631 s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.
4. Pasal 641 s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
5. Pasal 648 s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.
Mengingat pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi. Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan ”sehari-hari” dalam kegiatan bisnis internasional.
Masalah-masalah lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv contohnya adalah perjanjian arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3), diizinkannya banding ke Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1), larangan bagi wanita untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua itu bertentangan dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini.Dengan demikian, perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu conditio sine qua non.

4.        TATA CARA / PROSES PERKARA PADA LEMBAGA ARBITRASE
Pasal 1.    Kesepakatan Arbitrase
Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase di hadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”), atau menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan dibawah penyeleng­garaan BANI berdasarkan Peraturan tersebut, dengan mem­perhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang  tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui Arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.
Pasal 2.    Prosedur yang berlaku
Peraturan Prosedur ini  berlaku terhadap arbitrase yang diselenggarakan oleh BANI. Dengan menunjuk BANI dan/atau memilih Peraturan Prosedur BANI untuk penyelesaian sengketa, para pihak dalam perjanjian atau sengketa tersebut dianggap sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara melaluiPengadilan Negeri sehubungan dengan perjanjian atau sengketa tersebut, dan akan melak­sanakan setiap putusan yang diambil oleh Majelis Arbitrase berdasarkan Peraturan Prosedur BANI.
Pasal 3.    Definisi
Kecuali secara khusus ditentukan lain, maka istilah-istilah di bawah ini berarti: 
a.   “Majelis Arbitrase BANI” atau “Majelis”, baik dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah Maje­lis yang dibentuk menurut Prosedur BANI dan terdiri dari satu atau tiga atau lebih arbiter;
b.   “Putusan”, baik dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah setiap putusan yang ditetapkan oleh Majelis Arbitrase BANI, baik putusan sela ataupun putusan akhir/final dan mengikat;
c.   “BANI” adalah Lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
d.   “Dewan” adalah Badan Pengurus BANI;
e.   “Ketua” adalah Ketua Badan Pengurus BANI, kecuali dan apabila jelas dinyatakan bahwa yang dimaksud adalah Ketua Majelis Arbitrase. Ketua BANI dapat menunjuk Wakil Ketua atau Anggota Badan Pengurus yang lain untuk melaksanakan tugas-tugas Ketua sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Prosedur ini, termasuk dalam hal tertentu untuk menunjuk satu atau lebih arbiter, dalam hal mana rujukan kepada Ketua dalam Peraturan ini berlaku pula terhadap Wakil Ketua atau Anggota Badan Pengurus yang lain yang ditunjuk tersebut.
f.    “Pemohon” berarti dan menunjuk pada satu atau lebih pemohon atau para pihak yang mengajukan permohonan arbitrase;
g.    “Undang-Undang” berarti dan menunjuk pada Undang-undang Republik Indonesia No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
h.   “Termohon” berarti dan menunjuk pada satu atau lebih Termohon atau para pihak terhadap siapa permohonan arbitrase ditujukan; 
i.    “Para Pihak” berarti Pemohon dan Termohon;

j.    “Peraturan Prosedur” berarti dan menunjuk pada ketentuan-ketentuan Peraturan Prosedur BANI yang berlaku pada saat dimulainya penye­leng­­garaanarbitrase, dengan mengin­dahkan a­da­nya kesepakatan tertentu yang mungkin di­bu­at para pihak yang bersangkutan yang satu dan lain dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1;
k.    “Sekretariat” berarti dan menunjuk pada organ administratif BANI yang bertanggung jawab dalam hal pendaftaran permohonan arbitrase dan hal-hal lain yang bersifat administratif dalam rangka penyelenggaraan arbitrase;
l.    "Sekretaris Majelis” berarti dan menunjuk pada sekretaris majelis yang ditunjuk oleh BANI untuk membantu administrasi penyelenggaraan arbitrase bersangkutan; dan
m.   “Tulisan”, baik dibuat dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah  dokumen-dokumen yang di­tu­lis atau dicetak di atas kertas, tetapi juga doku­men-dokumen yang dibuat dan/atau dikirimkan secara elektronis, yang meliputi tidak saja perjanjian-perjanjian tetapi juga pertukaran korespondensi, catatan-catatan rapat, telex, telefax, e-mail dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya yang demikian; dan tidak boleh ada perjanjian, dokumen korespondensi, surat pemberitahuan atau instrumen lainnya yang dipersyaratkan untuk diwajibkan secara tertulis, ditolak secara hukum dengan alasan bahwa hal-hal tersebut dibuat atau disampaikan secara elektronis.
Pasal 4.    Pengajuan, Pemberitahuan Tertulis dan Batas Waktu
1.   Pengajuan komunikasi tertulis dan jumlah salinan.
Semua pengajuan komunikasi tertulis yang akan disampaikan setiap pihak, bersamaan dengan setiap dan seluruh dokumen lampirannya, harus diserahkan kepada Sekretariat BANI untuk didaftarkan dengan jumlah salinan yang cukup untuk memungkinkan BANI memberikan satu salinan kepada masing-masing pihak, arbiter yang bersangkutan dan untuk disimpan di Sekretariat BANI. Untuk maksud tersebut, para pihak dan/atau kuasa hukumnya harus menjamin bahwa BANI pada setiap waktu memiliki alamat terakhir dan nomor telepon, faksimili, e-mail yang bersangkutan untuk komunikasi yang diperlukan. Setiap komunikasi yang dikirim langsung oleh Majelis kepada para pihak haruslah disertai salinannya kepada Sekretariat dan setiap komunikasi yang dikirim para pihak kepada Majelis harus disertai salinannya kepada pihak lainnya dan Sekretariat.
2.   Komunikasi dengan Majelis.
Apabila Majelis Arbitrase telah dibentuk, setiap pihak tidak boleh melakukan komunikasi dengan satu atau lebih arbiter dengan cara bagaimanapun sehubungan dengan permo­honan arbitrase yang bersangkutan kecuali: (i) dihadiri juga oleh atau disertai pihak lainnya dalam hal berlangsung komunikasi lisan; (ii) disertai suatu salinan yang secara bersamaan dikirimkan ke para pihak atau pihak-pihak lainnya dan kepada Sekretariat (dalam hal komunikasi tertulis).
3.   Pemberitahuan.
Setiap pemberitahuan yang perlu disampaikan berdasarkan Peraturan Prosedur ini, kecuali Majelis menginstruksikan lain, harus disam­paikan langsung, melalui kurir, faksimili atau e-mail dan dianggap berlaku pada tanggal diterima atau apabila tanggal penerimaan tidak dapat ditentukan, pada hari setelah penyam­paian dimaksud.
4.   Perhitungan Waktu.  
Jangka waktu yang ditentukan berdasarkan Peraturan Prosedur ini atau perjanjian arbitrase yang bersangkutan, dimulai pada hari setelah tanggal dimana pemberitahuan atau komunikasi dianggap berlaku, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Prosedur Pasal 4 ayat (3) di atas. Apabila tanggal berakhirnya suatu pemberi­tahuan atas batas waktu jatuh pada hari Minggu atau hari libur nasional di Indonesia, maka batas waktu tersebut berakhir pada hari kerja berikutnya setelah hari Minggu atau hari libur tersebut.
5.   Hari-hari Kalender.
Penunjukan pada angka-angka dari hari-hari dalam Peraturan Prosedur ini menunjuk kepada hari-hari dalam kalender.
6.   Penyelesaian cepat.
Dengan mengajukan penyelesaian sengketa kepada BANI sesuai Peraturan Prosedur ini maka semua pihak sepakat bahwa sengketa tersebut harus diselesaikan dengan itikad baik secepat mungkin dan bahwa tidak akan ditunda atau adanya langkah-langkah lain yang dapat menghambat proses arbitrase yang lancar dan adil.
7.   Batas Waktu Pemeriksaan Perkara.
Kecuali secara tegas disepakati para pihak, pemeriksaan perkara akan diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal Majelis selengkapnya terbentuk. Dalam keadaan-keadaan khusus dimana sengketa bersifat sangat kompleks, Majelis berhak memperpanjang batas waktu melalui pemberitahuan kepada para pihak.
Pasal 5.    Perwakilan Para Pihak
1.   Para Pihak dapat diwakili dalam penyelesaian sengketa oleh seseorang atau orang-orang yang mereka pilih. Dalam pengajuan pertama, yaitu dalam Permohonan Arbitrase Pemohon dan  demikian pula  dalam Jawaban Termohon atas Permohonan tersebut, masing-masing pihak harus mencantumkan nama, data alamat dan keterangan-keterangan serta kedudukan setiap orang yang mewakili pihak bersengketa dan harus disertai surat kuasa khusus asli bermaterai cukup serta dibuat salinan yang cukup sebagai­mana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) di atas yang memberikan hak kepada orang tersebut untuk mewakili pihak dimaksud.
2.   Namun demikian, apabila suatu pihak diwakili oleh penasehat asing atau penasehat hukum asing dalam suatu perkara arbitrase mengenai seng­keta yang tunduk kepada hukum Indonesia, maka penasehat asing atau penasehat hukumasing dapat hadir hanya apabila didam­pingi penasehat atau penasehat hukum Indonesia.
Pasal 6.    Permohonan Arbitrase
1.  Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase (“Pemohon”) pada Sekretariat BANI.
2.   Penunjukan Arbiter
Dalam Permohonan Arbitrase Pemohon dandalam Jawaban Termohon atas Permohonan tersebut Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan tersebut kepada Ketua BANI.
3.   Biaya-biaya
Permohonan Arbitrase harus disertai pemba­yaran biaya pendaftaran dan biaya  administrasi sesuai dengan ketentuan BANI.
Biaya administrasi meliputi biaya administrasi Sekretariat, biaya pemeriksaan perkara dan biaya arbiter serta biaya Sekretaris Majelis.
Apabila pihak ketiga diluar perjanjian arbitrase turut serta dan menggabungkan diri dalam pro­ses penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang dimaksud oleh pasal 30 Undang-undang No. 30/1999, maka pihak ketiga tersebut wajib untuk membayar biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya sehubungan dengan keikutsertaannya tersebut. 
4.   Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI.
Pasal 7.    Pendaftaran
1.   Setelah menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang disyaratkan, Sekretariat harus mendaf­tarkan Permohonan itu dalam register BANI.
2.   Badan Pengurus BANI akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut.
Pasal 8.    Tanggapan Termohon
1.   Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permo­honan tersebut, seorang atau lebih Sekretaris Majelis harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase tersebut.
2.   Sekretariat harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
3.   Tanggapan
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah menerima penyampaian Permohonan Arbitrase, Termohon wajib menyampaikan Jawaban. Dalam Jawaban  itu, Termohon dapat menunjuk seorang Arbiter atau menyerahkan penunjukan itu kepada Ketua BANI. Apabila, dalam Jawaban tersebut, Termohon tidak menunjuk seorang Arbiter, maka dianggap bahwa penunjukan mutlak telah diserahkan kepada Ketua BANI.
4.   Perpanjangan Waktu
Ketua BANI berwenang, atas permohonan Termohon, memperpanjang waktu pengajuan Jawaban dan atau penunjukan arbiter oleh Termohon dengan alasan-alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa perpanjangan waktu tersebut tidak boleh melebihi 14 (empat belas) hari.
Pasal 9.    Yang berhak menjadi Arbiter
1.   Majelis Arbitrase
Kecuali dalam keadaan-keadaan khusus sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) di bawah ini, hanya mereka yang diakui termasuk dalam daftar arbiter yang disediakan oleh BANI dan/atau memiliki sertifikat ADR/Arbitrase yang diakui oleh BANI dapat bertindak selaku arbiter berdasarkan Peraturan Prosedur ini yang dapat dipilih oleh para pihak.
Daftar arbiter BANI tersebut terdiri dari para arbiter yang memenuhi syarat yang tinggal di Indonesia dan diberbagai yurisdiksi di seluruh dunia, baik pakar hukum maupun praktisi dan pakar non hukum seperti para ahli teknik, para arsitek dan orang-orang lain yang memenuhi syarat. Daftar arbiter tersebut dari waktu ke waktu dapat ditinjau kembali, ditambah atau diubah oleh Badan Pengurus.
2.   Arbiter Luar
Dalam hal para pihak, memerlukan arbiter yang memiliki suatu keahlian khusus yangdiperlukan dalam memeriksa suatu perkara arbitrase yang diajukan ke BANI, permohonan dapat diajukan kepada Ketua BANI guna menunjuk seorang arbiter yang tidak terdaftar dalam daftar arbiter BANI dengan ketentuan bahwa arbiter yang bersang­kutan memenuhi persyaratan yang tercan­tum dalam ayat 1 diatas dan ayat 3 dibawah ini. Setiap permohonan harus dengan jelas menyatakan alasan diperlukannya arbiter luar dengan disertai data riwayat hidup lengkap dari arbiter yang diusulkan. Apabila Ketua BANI menganggap bahwa tidak ada arbiter dalam daftar arbiter BANI dengan kualifikasi pro­fesional yang dibutuhkan itu sedangkan arbiter yang dimohonkan memiliki kualifikasi dimaksud memenuhi syarat, netral dan tepat, maka Ketua BANI dapat, berdasarkan per­timbangannya sendiri menyetujui penunjukan arbiter tersebut.
Apabila Ketua BANI tidak menyetujui penun­jukan arbiter luar tersebut, Ketua harus merekomendasikan, atau menunjuk, dengan pilihannya sendiri, arbiter alternatif yang dipilih dari daftar arbiter BANI atau seorang pakar yang memenuhi syaratdalam bidang yang diperlukan namun tidak terdaftar di dalam daftar arbiter BANI.Dewan Pengurus dapat memper­timbang­kan penunjukan seorang arbiter asing yang diakui dengan ketentuan bahwa arbiter asing itu memenuhi persyaratan kualifikasi dan bersedia mematuhi Peraturan Prosedur BANI, termasuk ketentuan mengenai biayaarbiter, dimana pihak yang menunjuk berkewajiban memikul biaya-biaya yang berhubungan dengan penunjukan arbiter asing tersebut.
3.   Kriteria-kriteria
Disamping memiliki sertifikat ADR/Arbitrase yang diakui oleh BANI seperti dimaksud dalam ayat 1 diatas,dan/atau persyaratan kualifikasi lainnya yang diakui oleh BANI semua arbiter harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
a.  berwenang atau cakap melakukan tindakan-tindakan hukum;
b.  sekurang-kurangnya berusia 35 tahun;
c.  tidak memiliki hubungan keluarga berdasar­kan keturunan atau perkawinan sampai dengan keturunan ketiga, dengan setiap dari para pihak bersengketa;
d.  tidak memiliki kepentingan keuangan atau apa pun terhadap hasil penyelesaian arbitrase;
e.  berpengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dan menguasai secara aktif bidang yang dihadapi;
f.  tidak sedang menjalani atau bertindak sebagai hakim, jaksa, panitera pengadilan, atau pejabat pemerintah lainnya.
4.   Pernyataan Tidak Berpihak.
Arbiter yang ditunjuk untuk memeriksa sesuatu perkara sesuai ketentuan Peraturan Prosedur BANI wajib menandatangani Pernyataan Tidak Berpihak yang disediakan oleh Sekretariat BANI.
5.   Hukum Indonesia.
Apabila menurut perjanjian arbitrase penun­jukan arbiter diatur menurut hukum Indonesia, sekurang-kurangnya seorang arbiter, sebaiknya namun tidak diwajibkan, adalah seorang sarjana atau praktisi hukum yang mengetahui dengan baik hukum Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia.
Pasal 10. Susunan Majelis
1.   Arbiter Tunggal
Apabila Majelis akan terdiri dari hanya seorang arbiter, Pemohon dapat, dalam Permohonan Arbitrase, mengusulkan kepada Ketua, seorang atau lebih yang memenuhi syarat untuk dire­komendasikan menjadi arbiter tunggal. Apabila Termohon setuju dengan salah satu calon yang diajukan Pemohon, dengan persetujuan Ketua, orang tersebut dapat ditunjuk sebagai arbiter tunggal. Namun apabila tidak ada calon yang diusulkan Pemohon yang diterima Termohon, dengan kekecualian kedua pihak sepakat mengenai suatu Majelis yang terdiri dari tiga arbiter, Ketua BANI wajib segera menunjuk orang yang akan bertindak sebagi arbiter tunggal, penunjukan mana tidak dapat ditolak atau diajukan keberatan olehmasing-masing pihak kecuali atas dasar alasan yang cukup bahwa orang tersebut dianggap tidak independen atau berpihak. Apabila para pihak tidak setuju dengan arbiter tunggal, dan/atau Ketua menganggap sengketa yang bersangkutanbersifat kompleks dan/atau skala dari sengketa bersangkutan ataupun nilaituntutan yang disengketakan sedemi­kian rupa besarnya atau sifatnya sehingga sangat memerlukan suatu Majelis yang terdiri dari tiga arbiter, maka Ketua memberitahukan hal tersebut kepada para pihak dan diberi waktu 7 (tujuh) hari kepada mereka untuk masing-masing menunjuk seorang arbiter yang dipilih­nya dan apabila tidak dipenuhi maka ketentuan Pasal 10 ayat (3) dibawah ini akan berlaku.
2.   Kelalaian Penunjukan
Dalam setiap hal dimana masing-masing pihak tidak dapat mengangkat atau menunjuk seorang arbiter dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan atau permohonan untuk menunjuk arbiter, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (3),  Ketua berwenang menunjuk  atas nama pihak bersangkutan.
3.   Dalam hal Tiga Arbiter
Apabila Majelis terdiri dari tiga arbiter, dalam hal para pihak telah menunjuk arbiter mereka masing-masing, maka Ketua BANI menunjuk seorang arbiter yang akan mengetuai Majelis.
Penunjukan arbiter yang akan mengetuai Majelis itu dilakukan dengan mengindahkan usul-usul dari para arbiter masing-masing pihak, untuk itu arbiter yang ditunjuk oleh para pihak masing-masing dapat mengajukan calon yang dipilihnya dari daftar para arbiter BANI. 
4.   Jika Jumlah Tidak Ditentukan
Apabila para pihak tidak sepakat sebelumnya tentang jumlah arbiter (misalnya satu atau tiga arbiter), Ketua berhak memutuskan, berdasar­kan sifat, kompleksitas dan skala dari sengketa bersangkutan, apakah perkara yang bersang­kutan memerlukan satu atau tiga arbiter dan, dalam hal demikian, maka ketentuan-ketentuan pada ayat-ayat terdahulu Pasal 10 ini berlaku.
5.   Banyak Pihak
Dalam hal terdapat lebih dari pada dua pihak dalam sengketa, maka semua pihak yang ber­tindak sebagai Pemohon (para pemohon) harus dianggap sebagai satu pihak tunggal dalam hal penunjukan arbiter, dan semua pihak yang ditun­tut harus dianggap sebagai satu Termohon tunggal dalam hal yang sama. Dalam hal pihak-pihak tersebut tidak setuju dengan penunjukan seorang arbiter dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka pilihan mereka terhadap seorang arbiter harus dianggap telah diserahkan kepada Ketua BANI yang akan memilih atas nama pihak-pihak tersebut. Dalam keadaan-keadaan khusus, apabila diminta oleh suatu mayoritas pihak-pihak bersengketa, ketua dapat menyetujui dibentuknya suatu Majelis yang terdiri lebih daripada 3 arbiter. Pihak-pihak lain dapat bergabung dalam suatu perkara arbitrase hanya sepanjang diperkenankan berdasarkan ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No.30/1999.
6.   Kewenangan Ketua BANI
Keputusan atau persetujuan akhir mengenai penunjukan semua arbiter berada ditangan Ketua BANI. Dalam memberikan persetujuan, Ketua dapat meminta keterangan tambahan sehubungan dengan kemandirian, netralitas dan/atau kriteria para arbiter yang diusulkan. Ketua juga dapat mempertimbangkan kewarga­negaraan arbiter yang diusulkan sehubungan dengan kewarganegaraan para pihak yang bersengketa dengan memperhatikan syarat-syarat baku yang berlaku di BANI.
Ketua harus mengupayakan bahwa keputusan sehubungan dengan penunjukan arbiter diambil atau disetujui dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak hal tersebut diajukan kepadanya.
7.   Penerimaan Para Arbiter
Seorang calon arbiter, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditunjuk, harus menyam­paikan kepada BANI riwayat hidup/pekerjaannya dan suatu pernyataan tertulis tentang kesediaan bertindak sebagai arbiter. Apabila diperlukan, arbiter yang ditunjuk harus menerangkan setiap keadaan yang mungkin dapat menjadikan dirinya diragukan sehubungan dengan netralitas atau kemandiriannya.
Pasal 11.  Pengingkaran/Penolakan Terhadap seorang Arbiter
1.   Pengingkaran
Setiap arbiter dapat diingkari apabila terdapat suatu keadaan tertentu yang menimbulkan kera­guan terhadap netralitas dan/atau keman­dirian arbiter tersebut. Pihak yang ingin menga­jukan pengingkaran harus menyampaikan pemberi­ta­huan tertulis kepada BANI dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diberitahu­kan identitas arbiter tersebut, dengan melampir­kan dokumen-dokumenpembuktian yang mendasari pengingkaran tersebut. Atau, apabila keterangan yang menjadi dasar juga diketahui pihak lawan, maka pengingkaran tersebut harus diajukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah keterangan tersebut diketahui pihak lawan.
2.   Penggantian
BANI wajib meneliti bukti-bukti tersebut melalui suatu tim khusus dan menyampaikan hasilnya kepada arbiter yang diingkari dan pihak lain tentang pengingkaran tersebut. Apabila arbiter yang diingkari setuju untuk mundur, atau pihak lain menerima pengingkaran tersebut, seorang arbiter pengganti harus ditunjuk dengan cara yang sama dengan penunjukan arbiter yang mengundurkan diri, berdasarkan ketentuan-keten­tuan pasal 10 di atas. Atau jika sebaliknya, BANI dapat, namun tidak diharuskan, menye­tujui pengingkaran tersebut, Ketua BANI harus menunjuk arbiter pengganti.
3.   Kegagalan Pengingkaran
Apabila pihak lain atau arbiter tidak menerima pengingkaran itu, dan Ketua BANI juga meng­anggap bahwa pengingkaran tersebut tidak ber­dasar, maka arbiter yang diingkari harus melan­jutkan tugasnya sebagai arbiter.
4.   Pengingkaran  Pihak Yang Menunjuk
Suatu pihak dapat membantah arbiter yang telah ditunjuknya atas dasar bahwa ia baru menge­tahui atau memperoleh alasan-alasan untuk pengingkaran  setelah penunjukan dilakukan.
Pasal 12. Penggantian Seorang Arbiter
1.   Kematian atau Cacat
Dalam hal seorang arbiter meninggal dunia atau tidak mampu secara tegas untuk melakukan tugasnya, selama jalannya proses pemeriksaan arbitrase, seorang arbiter pengganti harus ditunjuk berdasarkan ketentuan yang sama menurut Pasal 10 seperti halnya yang berlaku terhadap penunjukan atau pemilihan arbiter yang diganti.
2.   Pengunduran diri Arbiter
Calon atau arbiter yang mempunyai perten­tangan kepentingan (conflict of interest) dengan perkara atau para pihak yang bersengketa wajib untuk mengundurkan diri.
Sebaliknya apabila Majelis telah terbentuk maka tidak seorang pun arbiter boleh mengundurkan diri dari kedudukannya kecuali terjadi peng­ingkaran terhadap dirinya sesuai dengan keten­tuan-ketentuan Peraturan Prosedur  ini dan peraturan perundang-undangan.
3.   Kelalaian Bertindak
Dalam hal seorang arbiter lalai dalam melakukan tugasnya, baik secara de jure atau de facto, satu dan lain atas pertimbangan Ketua BANI sehingga tidak mungkin bagi dirinya menjalankan fungsinya, sebagaimana ditentukan Ketua, maka prosedur sehubungan dengan pengingkaran dan penggantian seorang arbiter sesuai ketentuan-ketentuan dalam Pasal 11 berlaku.
4.    Pengulangan Pemeriksaan
Apabila berdasarkan Pasal 11, 12 (1), atau 12 (3), seorang arbiter tunggal diganti maka pemeriksaan perkara, termasuk sidang-sidang yang telah diselenggarakan sebelumnya harus diulang. Apabila Ketua Majelis diganti, setiap sidang kesaksian sebelumnya dapat diulang apabila dianggap perlu oleh para arbiter lainnya. Apabila seorang arbiter dalam Majelis diganti, maka para arbiter lainnya harus memberikan penjelasan kepada arbiter yang baru ditunjuk dan sidang-sidang sebelumnya tidak perlu diulang kecuali dalam keadaan-keadaan khusus dimana, Majelis menurut pertimbangannya sendiri menganggap perlu berdasarkan alasan-alasan keadilan. Apabila terjadi pengulangan sidang-sidang   berdasarkan alasan-alasan diatas, Majelis dapat memper­timbangkan perpanjangan waktu pemeriksaan perkara seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7).
Pasal 13.        Ketentuan-ketentuan Umum/Persidangan
1.   Kewenangan Majelis
Setelah terbentuk atau ditunjuk berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Bab III diatas, Majelis Arbitrase akan memeriksa dan memutus seng­keta antara para pihak atas nama BANI dan ka­re­nanya dapat melaksanakan segala kewenang­an yang dimiliki BANI sehubungan dengan peme­riksaan dan pengambilan keputusan-keputusan atas sengketa dimaksud. Sebelum dan selama masa persidangan Majelis dapat mengusahakan adanya perdamaian di antara para pihak. Upaya perdamaian tersebut tidak mem­pengaruhi batas waktu pemeriksaan di persi­dangan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7).
2.   Kerahasiaan
Seluruh persidangan dilakukan tertutup untuk umum, dan segala hal yang berkaitan dengan pe­nunjukan arbiter, termasuk dokumen-dokumen, laporan/catatan sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusan-putusan, harus di­jaga kerahasiaannya diantara para pihak, para ar­biter dan BANI, kecuali oleh peraturan perun­dang-undangan hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak yang bersengketa.
3.   Dasar Keadilan
Sesuai ketentuan Peraturan Prosedur ini dan hukum yang berlaku, Majelis Arbitrase dapat menyelenggarakan arbitrase dengan cara yang dapat dianggap benar dengan ketentuan para pihak diperlakukan dengan persamaan hak dan diberi kesempatan yang patut dan sama pada setiap tahap pemeriksaan perkara.
4.  Tempat Sidang
Persidangan, diselenggarakan di tempat yang ditetapkan oleh BANI dan kesepakatan para pi­hak, namun dapat pula di tempat lain jika diang­gap perlu oleh Majelis dengan kesepakatan para pihak. Majelis Arbitrase dapat meminta diadakan rapat-rapat untuk memeriksa, asset-asset, ba­rang-barang lain atau dokumen-dokumen pada setiap waktu dan di tempat yang diperlukan, dengan pemberitahuan seperlunya kepada para pihak, guna memungkinkan mereka dapat ikut hadir dalam pemeriksaan tersebut. Rapat-rapat internal dan sidang-sidang Majelis dapat diadakan pada setiap waktu dan tempat, termasuk melalui jaringan internet, apabila Majelis menganggap perlu.
Pasal 14. Bahasa
1.   Bahasa Pemeriksaan
Dalam hal para pihak tidak menyatakan sebaliknya, proses pemeriksaan perkara dise­leng­garakan dalam bahasa Indonesia, kecuali dan apabila Majelis, dengan menim­bang kea­daan (seperti adanya pihak-pihak asing dan/atau arbiter-arbiter asing yang tidak dapat berbahasa Indonesia, dan/atau dimana transaksi yang menimbulkan sengketa dilaksanakan dalam bahasa lain), menganggap perlu diguna­kannya bahasa Inggris atau bahasa lainnya.
2.   Bahasa Dokumen
Apabila dokumen asli yang diajukan atau dijadikan dasar oleh para pihak dalam penga­juan kasus yang bersangkutan dalam bahasa selain Indonesia, maka Majelis berhak untuk me­nentukan dokumen-dokumen asli tersebut apakah harus disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia, atau dari bahasa Indonesia ke bahasa lain. Namun demikian, apabila para pihak setuju, atau Majelis menentukan, bahwa bahasa yang digunakan dalam perkara adalah bahasa selain bahasa Indonesia, maka Majelis dapat me­minta agar dokumen-dokumen dia­jukan dalam bahasa Indonesia dengan disertai terjemahan dari penerjemah tersumpahdalam bahasa Inggris atau bahasa lain yang digunakan. 
3.   Penerjemah
Apabila Majelis dan/atau masing-masing pihak memerlukan bantuan penerjemah selama persidangan, hal tersebut harus disediakan oleh BANI atas permintaan Majelis, dan biaya pener-jemah harus ditanggung oleh para pihak yang berperkara sesuai yang ditetapkan oleh Majelis.
4.   Bahasa Putusan
Putusan harus dibuat dalam bahasa Indonesia, dan apabila diminta oleh suatu pihak atau sebaliknya dianggap perlu oleh Majelis, dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Dalam hal bahwa naskah asli Putusan dibuat dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya, suatu terjemahan resmi harus disediakan oleh BANI untuk maksud-maksud pendaftaran, dan biaya untuk itu harus ditanggung oleh para pihak berdasar­kan penetapan Majelis
Pasal 15.  Hukum Yang Berlaku
1.   Hukum Yang Mengatur
Hukum yang mengatur materi sengketa adalah hukum yang dipilih dalam perjanjian komersial bersangkutan yang menimbulkan sengketa antara para pihak. Dalam hal oleh para pihak dalam perjanjian tidak ditetapkan tentang hu­kum yang mengatur, para pihak bebas memilih hukum yang berlaku berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam hal kesepakatan itu tidak ada, Majelis berhak menerapkan keten­tuan-ketentuan hukum yang dianggap perlu, dengan memper­timbangkan keadaan-keadaan yang menyangkut permasalahannya.
2.   Ketentuan-ketentuan Kontrak
Dalam menerapkan hukum yang berlaku, Majelis harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan.
3.   Ex Aequo et Bono
Majelis dapat menerapkan kewenangan yang bersifat amicable compositeur dan/atau memu­tuskan secara ex aequo et bono, apabila para pihak telah menyatakan kesepakatan mengenai hal itu.
Pasal 16. Surat Permohonan Arbitrase
1.   Pengajuan
Surat Permohonan Arbitrase, yang berisi Tuntutan Pemohon yang disampaikan kepada BANI, oleh BANI, setelah Majelis terbentuk, diteruskan kepada setiap anggota Majelis dan pihak lain (para pihak).
2.   Syarat-syarat
Surat Permohonan Arbitrase harus memuat sekurang-kurangnya:
a.  Nama dan alamat para pihak;
b.  Keterangan tentang fakta-fakta yang mendu­kung Permohonan Arbitrase;
c.  Butir-butir permasalahannya; dan
d.  Besarnya tuntutan kompensasi yang dituntut.
3.   Dokumentasi
Pemohon harus melampirkan pada Surat Permohonan tersebut suatu salinan perjanjian bersangkutan atau perjanjian-perjanjian yang terkait sehubungan sengketa yang bersangkutan dan suatu salinan perjanjian arbitrase (jika tidak termasuk dalam perjanjian dimaksud), dan dapat pula melampirkan dokumen-dokumen lain yang oleh Pemohon dianggap relevan. Apabila dokumen-dokumen tambahan atau bukti lain dimaksudkan akan diajukan kemu­dian, Pemohon harus menegaskan hal itu dalam Surat Permohonan tersebut.
Pasal 17. Surat Jawaban Atas Tuntutan
1.   Pengajuan
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari Termohon harus mengajukan Surat Jawaban kepada BANI untuk disampaikan kepada Majelis dan Pemohon.
2.   Syarat-syarat
Termohon harus, dalam Surat Jawabannya, mengemukakan pendapatnya tentang hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) dan (c) Pasal 16 ayat (2) diatas. Termohon juga dapat melampirkan dalam Surat Jawabannya, doku­men-dokumen yang dijadikan sebagai dasar atau menunjuk pada setiap dokumen-dokumen tambahan atau bukti lain yang akan diajukan kemudian.
3.    Tuntutan Balik
a.  Apabila Termohon bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagai-mana yang diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekon­vensi)atau upaya penyelesaian tersebut bersama dengan Surat Jawaban atau selam­bat-lambatnya pada sidang pertama. Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian itu agar diajukan pada suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu beralasan sesuai ketentuan-ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) dan Pasal 16 ayat (2) dan (3).
b.  Atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pem­bebanan biaya adminsitrasi yang dila­kukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya adminis­trasi untuk tuntutan balik (rekon-vensi) atau upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak, maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa, dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok. 
c. Kelalaian para pihak atau salah satu dari mereka, untuk membayar  biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda kelanjutan penyelengga-raan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (kon­vensi) tersebut telah dibayar, seolah-olah  tidak ada tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tuntutan.
4.   Jawaban Tuntutan Balik
Dalam hal Termohon telah mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian, Pemohon (yang dalam hal itu menjadi Termohon), berhak dalam jangka waktu 30 hari atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Majelis, untuk mengajukan jawaban atas tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 17 ayat (2) diatas.
Pasal 18. Yurisdiksi
1.   Kompetensi Kompetensi
Majelis berhak menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa ia tidak berwenang, termasuk keberatan yang berhubungan dengan adanya atau keabsahan perjanjian arbitrase jika terdapat alasan untuk itu.
2.   Klausul Arbitrase Independen
Majelis berhak menentukan adanya atau keabsahan suatu perjanjian di mana klausula arbitrase merupakan bagian. Suatu klausula arbitrase yang menjadi bagian dari suatu perjanjian, harus diperlakukan sebagai suatu perjanjian terpisah dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam perjanjian yang bersangkutan. Keputusan Majelis bahwa suatu kontrak batal demi hukum tidak dengan sendirinya membatal­kan validitas klausula arbitrase. 
3.   Batas Waktu Bantahan
Suatu dalih berupa bantahan bahwa Majelis tidak berwenang harus dikemukakan sekurang-kurangnya dalam Surat Jawaban atau, dalam hal tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian dalam jawaban terhadap tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut.
4.    Putusan Sela
Dalam keadaan yang biasa, Majelis akan menetapkan putusan yang menolak masalah yurisdiksi sebagai suatu Putusan Sela. Namun, apabila dipandang perlu Majelis dapat melanjutkan proses arbitrase dan memutuskan masalah tersebut dalam Putusan akhir.
Pasal 19. Dokumen-Dokumen dan Penetapan-Penetapan
1.    Prosedur Persidangan
Setelah menerima berkas perkara, Majelis harus menentukan, atas pertimbangan sendiri apakah sengketa dapat diputuskan berdasarkan dokumen-dokumen saja, atau perlu memanggil para pihak untuk datang pada persidangan. Untuk maksud tersebut Majelis dapat memanggil untuk sidang pertama dimana mengenai  pengajuan dokumen-dokumen jika ada atau mengenai persidangan jika diadakan, ataupun mengenai masalah-masalah prosedural, dapat dikomunikasikan dengan para pihak secara langsung ataupun melalui Sekretariat BANI.    
2.   Penetapan-penetapan prosedural.
Majelis, berdasarkan ketentuan-ketentuan ini, berhak penuh menentukan prosedur dan membuat penetapan-penetapan yang dianggap perlu, dimana penetapan-penetapan tersebut mengikat para pihak. Apabila dipandang perlu, Majelis dapat membuat ikhtisar masalah-masalah yang akan diputus (terms of reference) yang ditandatangani Majelis dan para pihak. Setidak-tidaknya Sekretaris Majelis harus membuat berita acara pemeriksaan dan pene­tapan-penetapan prosedural dari Majelis, berita acara mana, setelah ditandatangani oleh Majelis, menjadi dokumen pemeriksaan dan bahan bagi Majelis dalam proses pemeriksaan selanjutnya.
3.   Catatan.
Dalam hal masing-masing pihak ingin membuat suatu catatan sendiri mengenai pemeriksaan atau sebagian dari pemeriksaan, atas persetujuan Majelis, pihak yang bersangkutan dapat meminta jasa petugas pencatat atau sekretaris independen untuk hal tersebut yang akan menyampaikan catatannya kepada Majelis untuk diteruskan kepada para pihak. Biaya pembuatan catatan itu adalah atas tanggungan pihak atau pihak-pihak yang meminta, dan biaya tersebut harus dibayar dimuka kepada BANI untuk dibayarkan kemudian kepada petugas bersangkutan setelah menerima bukti penagihan. 
4.    Biaya harus dibayar.
Pemeriksaan atas perkara dan atau sidang tidak akan dilangsungkan sebelum seluruh biaya-biaya arbitrase, sebagaimana diberitahukan oleh Sekretariat kepada para pihak berdasarkan besarnya skala dari tuntutan dan daftar biaya yang dari waktu ke waktu diumumkan oleh BANI, telah dibayar lunas oleh salah satu atau kedua belah pihak.
5.    Putusan Sela
Majelis berhak menetapkan putusan provisi atau putusan sela yang dianggap perlu sehubungan dengan penyelesaian sengketa bersangkutan, termasuk untuk menetapkan suatu putusan tentang sita jaminan, memerintahkan penyim­panan barang pada pihak ketiga, atau penjualan barang-barang yang tidak akan tahan lama. Majelis berhak meminta jaminan atas biaya-biaya yang berhubungan dengan tindakan-tindakan tersebut.
6.    Sanksi-sanksi
Majelis berhak menetapkan sanksi atas pihak yang lalai atau menolak untuk menaati aturan tata-tertib yang dibuatnya atau sebaliknya melakukan tindakan yang menghambat proses pemeriksaan sengketa oleh Majelis. 
Pasal 20. Upaya Mencari Penyelesaian Damai
1.    Penyelesaian Damai
Majelis pertama-tama harus mengupayakan agar para pihak mencari jalan penyelesaian damai, baik atas upaya para pihak sendiri atau dengan bantuan mediator atau pihak ketiga lainnya yang independen atau dengan bantuan Majelis jika disepakati oleh para pihak.
2.    Putusan Persetujuan Damai
Apabila suatu penyelesaian damai dapat dicapai, Majelis akan menyiapkan suatu memorandum mengenai persetujuan damai tersebut secara tertulis yang memiliki kekuatan hukum dan mengikat kedua belah pihak serta dapat dilak­sanakan dengan cara yang sama sebagai suatu Putusan dari Majelis.
3.    Kegagalan  Menyelesaikan secara damai
Apabila tidak berhasil dicapai penyelesaian damai, Majelis akan melanjutkan prosedur arbitrase sesuai ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 21. Kelalaian Penyelesaian
1.    Kelalaian Pemohon
Dalam hal Pemohon lalai dan/atau tidak datang pada sidang pertama yang diselenggarakan oleh Majelis tanpa suatu alasan yang syah, maka Majelis dapat menyatakan Permohonan Arbitrase batal.
2.    Kelalaian Termohon
Dalam hal Termohon lalai mengajukan Surat Jawaban, Majelis harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Termohon dan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari untuk mengajukan Jawaban dan/atau datang ke persidangan. Dalam hal Termohon juga tidak datang ke persidangan setelah dipanggil secara patut dan juga tidak mengajukan Jawaban tertulis, Majelis harus memberitahukan untuk kedua kalinya kepada Termohon agar datang atau menyampaikan Jawaban. Apabila Termo-hon lalai menjawab untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, Majelis serta-mertadapat memutuskan dan mengeluarkan putusan berdasarkan dokumen-dokumen dan bukti yang telah diajukan Pemohon.
Pasal 22. Perubahan-perubahan dan Pengajuan-pengajuan Selanjutnya
1.    Perubahan-perubahan
Apabila pengajuan-pengajuan sebagaimana dimaksud diatas telah lengkap, dan apabila sidang pertama telah dilangsungkan, para pihak tidak berhak mengubah tuntutan dan/atau jawaban mereka sepanjang menyangkut materi perkara, kecuali Majelis dan para pihak menyetujui perubahan tersebut. Namun demikian, tidak diperkenankan mengubah tuntutan yang keluar dari lingkup perjanjian arbitrase.
2.    Pengajuan-pengajuan lebih lanjut
Majelis harus memutuskan tentang bukti-bukti tambahan dan/atau keterangan tertulis tambahan, selain Surat Permohonan Arbitrase yang merupakan surat tuntutan dan Surat Jawaban, yang diperlukan dari para pihak  atau diajukan para pihak, dimana Majelis harus menetapkan jangka waktu untuk penyampaian hal-hal tersebut. Majelis tidak wajib memper­timbangkan setiap pengajuan tambahan selain yang telah ditetapkannya.
Pasal 23. Bukti dan Persidangan
1.    Beban Pembuktian
Setiap pihak wajib menjelaskan posisi masing-masing, untuk mengajukan bukti yang menguatkan posisinya dan untuk membuktikan fakta-fakta yang dijadikan dasar tuntutan atau jawaban.
2.    Ringkasan Bukti-bukti
Majelis dapat, apabila dianggap perlu, meminta para pihak untuk memberikan penjelasan atau mengajukan dokumen-dokumen yang dianggap perlu dan/atau untuk menyampaikan ringkasan seluruh dokumen dan bukti lain yang telah dan/atau akan diajukan oleh pihak tersebut guna mendukung fakta-fakta dalam Surat Permo­honan Tuntutan atau Surat Jawaban, dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Majelis.
3.    Bobot Pembuktian
Majelis harus menentukan apakah bukti-bukti dapat diterima, relevan dan   menyangkut materi permasalahan dan memiliki kekuatan bukti.
4.    Saksi-saksi
Apabila Majelis menganggap perlu dan/atau atas permintaan masing-masing pihak, saksi-saksi ahli atau saksi-saksi yang berkaitan fakta-fakta dapat dipanggil. Saksi-saksi tersebut oleh Majelis dapat diminta untuk memberikan kesaksian mereka dalam bentuk tertulis. Majelis dapat menentukan, atas pertimbangannya sendiri atau atas permintaan masing-masing pihak, apakah perlu mendengar kesaksian lisan saksi-saksi tersebut.
5.    Biaya Para Saksi
Pihak yang meminta pemanggilan seorang saksi atau saksi ahli harus membayar dimuka seluruh ongkos yang diperlukan berhubung dengan kehadiran saksi tersebut. Untuk maksud tersebut Majelis dapat meminta agar terlebih dahulu disetorkan suatu deposit kepada BANI
6.    Sumpah
Sebelum memberikan kesaksian mereka, para saksi atau saksi-saksi ahli tersebut dapat diminta untuk diambil sumpahnya atau mengucapkan janji.
7.    Penutupan Persidangan
Jika pengajuan bukti, kesaksian dan persidangan telah dianggap cukup oleh Majelis, maka persidangan mengenai sengketa tersebut ditutup oleh Ketua Majelis yang kemudian dapat menetapkan suatu sidang untuk penyampaian Putusan akhir.
Pasal 24. Pencabutan Arbitrase
1.   Pencabutan.
Sepanjang Majelis belum mengeluarkan putusannya, Pemohon berhak mencabut tuntutannya melalui pemberitahuan tertulis kepada Majelis, pihak lain dan BANI. Namun demikian apa­bila Termohon telah  mengajukan Surat Jawaban, dan/atau tuntutan balik (rekonvensi), maka tuntutan hanya dapat dicabut kembali dengan persetujuan Termohon. Apabila para pihak sepakat untuk mencabut tuntutan/perkara setelah sidang dimulai, maka pencabutan tersebut dilakukan dengan penetapan putusan oleh Majelis.   
2.    Pengembalian Pembayaran Biaya-biaya.
Dalam hal persidangan belum dimulai, seluruh ongkos yang dibayar, kecuali biaya pendaftaran, dikembalikan kepada Pemohon dimana dilakukan perhitungan dengan biaya-biaya administrasi Sekretariat BANI yang telah dikeluarkan. Apabila persidangan atau rapat-rapat musyawarah telah dimulai, maka biaya administrasi, termasuk ongkos-ongkos yang menjadi hak para arbiter yang dianggap wajar oleh Ketua BANI, setelah berkonsultasi dengan Majelis, akan diperhitungkan dalam pengem­balian tersebut.
Pasal 25.  Putusan Akhir
Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu paling lama 30 hari terhitungsejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya.
Pasal 26. Putusan-Putusan Lain
Selain menetapkan Putusan akhir, Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau Putusan-putusan parsial.
Pasal 27. Mayoritas
Apabila Majelis terdiri dari tiga (atau lebih) arbiter, maka setiap putusan atau putusan lain dari Majelis, harus ditetapkan berdasarkan suatu putusan mayoritas para arbiter.
Apabila terdapat perbedaan pendapat dari arbiter mengenai  bagian tertentu dari putusan, maka perbedaan tersebut harus dicantumkan dalam Putusan.
Apabila diantara para arbiter tidak terdapat kesepakatan mengenai putusan atau bagian dari putusan yang akan diambil, maka putusan Ketua Majelis mengenai hal yang bersangkutan yang dianggap berlaku.
Pasal 28. Penetapan-penetapan Prosedural
Untuk hal-hal yang bersifat prosedural, apabila tidak terdapat kesepakatan mayoritas, dan apabila Majelis menguasakan untuk hal tersebut, Ketua Majelis dapat memutuskan atas pertimbangan sendiri.
Pasal 29. Pertimbangan Putusan
Putusan harus dibuat tertulis dan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar Putusan tersebut, kecuali para pihak setuju bahwa pertimbangan-pertimbangan itu tidak perlu dicantumkan.
Putusan Majelis ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Pasal 30. Penandatanganan Putusan
Putusan harus ditandatangani para arbiter dan harus memuat tanggal dan tempat dikeluarkannya. Apabila ada tiga Arbiter dan satu dari mereka tidak menandatangani, maka dalam Putusan tersebut harus dinyatakan alasannya.
Pasal 31. Penyampaian
Dalam waktu 14 (empat belas) hari, Putusan yang telah ditandatangani para arbiter tersebut harus disampaikan kepada setiap pihak, bersama 2 (dua) lembar salinan untuk BANI, dimana salah satu dari salinan itu akan didaftarkan oleh BANI di Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Pasal 32. Final dan Mengikat
Putusan bersifat final dan mengikat para pihak. Para pihak menjamin akan langsung melaksanakan Putusan tersebut.
Dalam Putusan tersebut, Majelis menetapkan suatu batas waktu bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan Putusan dimana dalam Putusan Majelis dapat menetapkan sanksi dan/atau denda dan/atau tingkat bunga dalam jumlah yang wajar apabila pihak yang kalah lalai dalam melaksanakan Putusan itu.
Pasal 33. Pendaftaran
Kerahasiaan proses arbitrase tidak berarti mencegah pendaftaran Putusan pada Pengadilan Negeri ataupun pengajuannya ke Pengadilan Negeri dimanapun dimana pihak yang menang dapat meminta pelaksanaan dan/atau eksekusi Putusan tersebut.
Pasal 34. Pembetulan Kesalahan-Kesalahan
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah Putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan ke BANI agar Majelis memperbaiki kesalahan-kesalahan administratif yang mungkin terjadi dan/atau untuk menambah atau menghapus sesuatu apabila dalam Putusan tersebut sesuatu tuntutan tidak disinggung.  
Pasal 35. Daftar Biaya
Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu daftar terpisah dan terlampir pada Peraturan Prosedur ini. Daftar tersebut dapat diperbaiki atau diubah dari waktu ke waktu apabila dipandang perlu oleh BANI.
Pasal 36. Pembayaran Biaya
BANI harus menagih kepada setiap pihak setengah dari estimasi biaya arbitrase, dan memberikan jangka waktu secepatnya untuk membayarnya. Apabila suatu pihak lalai membayar bagiannya, maka jumlah yang sama harus dibayarkan oleh pihak lain yang kemudian akan diperhitungkan dalam Putusan dengan kewajiban pihak yang lalai membayar tersebut.
BANI atas permintaan Majelis yang bersangkutan dapat meminta penambahan biaya dari waktu ke waktu selama berlangsungnya arbitrase apabila Majelis menganggap bahwa perkara yang sedang diperiksa atau besarnya tuntutan ternyata telah meningkat daripada yang semula diperkirakan.
Pasal 37. Alokasi
Majelis berwenang menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian pembayaran kepada pihak lain, untuk seluruh atau sebagian biaya-biaya itu, pembagian mana harus dicantumkan dalam Putusan.
Pada umumnya apabila salah satu pihak sepenuhnya berhasil dalam tuntutannya  maka pihak lawannya memikul seluruh biaya dan apabila masing-masing pihak berhasil memperoleh sebagian dari tuntutan­nya, biaya-biaya menjadi beban kedua belah pihak secara proporsional.
Pasal 38.  Biaya-biaya Jasa Hukum
Kecuali dalam keadaan-keadaan khusus, biaya-biaya jasa hukum dari masing-masing pihak harus ditanggung oleh pihak yang memakai jasa hukum tersebut dan biasanya tidak akan diperhitungkan terhadap pihak lainnya. Namun apabila Majelis menentukan bahwa suatu tuntutan menjadi rumit atau bahwa suatu pihak secara tidak sepatutnya menyebabkan timbulnya kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan dalam kemajuan proses arbitrase, maka biaya jasa hukum dapat dilimpahkan kepada pihak yang menimbulkan  kesulitan tersebut.
Pasal 39. Biaya-biaya Eksekusi
Biaya-biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh pihak yang kalah dan yang lalai untuk memenuhi ketentun-ketentuan dalam Putusan.

5.        CONTOH KASUS
KASUS KARTIKA PLAZA VS AMCO ASIA
Fakta – Fakta Hukum
Para Pihak
- Penggugat : AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas :
1. Amco Asia Corporation
2. Pan American Development
3. PT. Amco Indonesia
- Tergugat : Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Kasus Sengketa
Pencabutan izin investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan untuk jangka waktu 30 tahun.Namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika baru memasuki tahun ke 9.
Duduk Perkara ( Kasus  Posisi )
Kasus posisi semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad).
Pada 1968, Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plaza  dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak membuat perjanjian pembagian  keuntungan dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelola hotel itu, dan menyetorkan separuh keuntungan kepadaWisma Kartika.
Tapi kerja sama itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan.Kedua pihak bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor keuntungan dan modal yang harus disetor.
Puncaknya, pada Maret 1980 pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaanAmco Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah urus" dan melakukan kecurangan keuangan.Amco Indonesia tak bisa menerima "kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk Kartika Plaza hamper  US$ 5 juta. Kecuali itu,Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah menyetorkan keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400juta. Begitu pula pembagian keuntungan untuk Wisma Kartika pada1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan.
Pada Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha AmcoIndonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan.,yang seharusnya menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$1,4 juta.
Secara singkat :                                        :
Tahun 1968 wisma kartika menandatangani kerjasama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco Indonesia
Amco Indonesia setuju untuk membangun Kartika Plaza dengan modal US$4 juta
Keduabelah pihak membuat perjanjian pembagian keuntungan dan kontrak managemen berdasarkan lease and management (profit-sharing) atas hotel kartika plaza.
Salahsatu klausula dalam perjanjian itu adalah menyerahkan kepada ICSID bila muncul sengketa dikemudian hari
Maret 1980, wisma kartika mengambilalih pengelolaan kartika plaza karena menganggap amco Indonesia telah salah manajemen dan melakukan kecurangan sehingga Indonesia tidak mendapat bagian saham.
Pada Juli 1980 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha AmcoIndonesia karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan
Hasil Putusan
Ketiga badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara tidak wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia.Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT. Amco Indonesia. dengan arbiter Isl Foighel dari Danish dan Edward W. Rubin dari kanada.
Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal selfhelp) terhadap penanaman modal asing dengan arbiter   Florentio P. Feliciano dari filipina dan Andrea Giardina dari kanada.
Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama dengan arbiter   Arghyrio A. Fatouros dari greek dan Dietrich dari swiss.
Dalam sengketa ini, persyaratan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada ICSID telah terpenuhi, yaitu:
1. Para pihak telah sepakat untuk mengajukan sengketanya pada ICSID, hal ini tercantum dalam salahsatu klausul dalam perjanjian antara Indonesia dan Amco Asia
2.  keduabelah pihak yang bersengketa , yaitu Indonesia dan Amco Asia merupakan pihak yang telah menandatangani konvensi
3.sengketa antara  Indonesia dan Amco asia ini merupakan sengketa penanaman modal (investasi).

6.        Kesimpulan
Proses beracara secara Arbitrase belum menjadi pilihan Utama dari pada kebanyakan Orang bersengketa yang masuk rana Arbitrase, ini merupakan ketidak tahuan atau kurangnya sosialisasi tentang  Arbitrase itu sendiri. Semoga bermanfaat bagi para penegak hukum, masyarakat dan para pembaca untuk mengetahui apa arbitrase itu, apakah ada kaitan dengan peradilan hubungan industrial, dasar hukum arbitrase, tata cara beracara di lembaga arbitrase dan contoh kasus yang  ada.
Disusun Oleh Roy R. Pangkey, S.H.