Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Salam Damai bagi Penegak hukum di
Indonesia, sesuai dengan Hukum Pidana di Indonesia kita harus
berpendapat melalui dasar-dasar hukum atau Nullum Delictum Nula Poena
Sine Preivia Lege Poenale tanpa UU mengatur jelas kita tidak bisa
mengatakan itu merupakan delik.,
sesuai
perkembangan hukum di Indonesia maka harus ada perubahan hukum dalam
menyesuaikan hukum itu sendiri tapi barangkali kita harus sesuai dengan
asas-asas yang mengatur didalamnya.
menurut
saya yang bisa merubah UU itu sendiri adalah kaum intelektual hukum,
banyak Profesor hukum yang tercatat dalam sejarah Bangsa ini tapi
ketahuilah banyak dari mereka yang mempunyai kepentingan dalam menyusun
atau membuat UU itu sendiri.
Pakar
Hukum atau DPR yang senantiasa dekat dengan yang dinamakan pembuatan UU
misalnya UU No 8 Tahun 1981 yang dalam saat ini tanggal 21 Februari 2014
masih dalam tahap RUU KUHP dan KUHAP dalam rancangan Kuhp dan Kuhap
tercantum pasal-pasal yang sebelumnya lex specialis menjadi lex
generalis atau ada pasal yang mengatur tidak ada lagi Penyelidikan hanya
ada Penyidikan.
saya sebagai Rakyat
Indonesia menjadi irih mendengar Sosok KPK melayangkan Surat kepeda
Presiden mengenai pemberhentian proses RUU KUHP dan KUHAP, ironis jika
kita hanya berpikir sepintas misalnya Pasal 362 KUHP ancamannya 5 Tahun
Penjara bayangkan seorang Pencuri sendal Jepit bisa dikenakan Pasal 362
berbeda dengan White Collar Crime hanya sebua coretan hitam diatas
kertas putih yang mengatur undang-undang tindak pidana korupsi yang
didalamnya pidana mati, mungkin sekilas kita tidak terlalu peduli dengan
pidana mati tapi semenjak uu tindak pidana korupsi diundangkan belum
ada yang divonis pidana mati, maka apakah kita mempertahankan uu itu
sendiri ?
saya bisa katakan Negara
Kita belum merdeka pasal-pasal zaman compeny saja masih dipakai (HIR)
bahkan KUHP dan KUHAP masih aliran belanda.
jika kita melihat banyaknya perbuatan korupsi ya benar sekali kabupaten kami misalnya lautan koruptor tapi mereka peredam media.
untuk
itu saya uraikan sejarah perkembangan pemberantasan korupsi di
indonesia, analisis sendiri ya apakah bisa dibubarkan atau tidak ! :
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran
inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut
dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model
perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras
dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara
langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran,
tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran
berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi.
Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi
ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta
lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan
kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina
yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada
surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini.
Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara
kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan
pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama,
yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi
yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring
dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down
di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin
melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring
dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie
dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut
pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di
tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim
ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31
Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan
dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke
dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah
lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
- Komisi Pemberantasan Korupsi, mempunyai tugas :
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
- Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
- Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
- Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
- Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
- Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
- Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
- Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
lanjut ya Kepolisian dan Kejaksaan memiliki kewenangan dalam pemberantasan korupsi tapi KPK sebagai Superman dan Pemberantasan Korupsi, saya tidak tahu dalam tubuh KPK ada maling atau tidak, dan warna merah dalam huruf P (kPk), saya selalu mendorong KPK menjadi pemberantas korupsi yang independensi maka saya mau dalam tubuh KPK bersih dan kuat.