diposkan oleh : Roy R. Pangkey, SH.
mendefinisikan
suatu obyek, termasuk hukum dan pelbagai cabang serta sub cabangnya
merupakan pekerjaan yang gampang-gamoang sukar. dikatakan gampang karena
obyek itu sendri demikian mudah untuk dikenali meskipun hanya pada sisi
luarnya saja. dikatakan sukar, sebab substansi dari obyek yang
didefinisikan seringkali sukar untuk dipahami atau pemahaman atas
obyeknya itu seringkali tidak utuh atau bulat, tetapi dipahami hanya
sebagian-sebagian saja. oleh karena itu, dapat dimengerti, bahwa
definisi dari para sarjana tentang suatu obyek bisa berbeda-beda antara
satu dengan lainnya. namun karena adanya kebutuhan untuk
mendefinisikannya, mau tidak mau pendefinisiannya itu harus dilakukan,
terlepas dari kekurangan atau ketidak sempurnaannya.
Demikian
pula halnya dengan pendefinisian hukum pidana internasional itu
sendiri, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk dilakukan. dalam rangka
untuk mengerti dan memahami hukum internasional, mau tidak mau
pendefinisian harus dilakukan. dalam hal ini, berlaku suatu adagium,
bahwa adanya suatu definisi dari obyek yang akan dipelajari betapapun
tidak sempurnanya, masih lebih baik daripada tidak ada definisi sama
sekali. secara ringkas, hukum pidana internasional dapat didefinbisikan
sebagai berikut.hukum pidana internasional adalah sekumpulan
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan
internasional.
Definisi
ini tentulah sangat singkat dan umum sehingga belum menggambarkan
tentang apa sebenarnya hukum pidana internasional itu. meskipun definisi
ini masih sangat singkat dan umum, namun sudah menggambarkan secara
singkat tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana internasional. ada
dua hal yang secara eksplisit dapat ditemukan dalam definisi ini.
- hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidaj atau asas-asas hukum.
- obyek yang diaturnya adalah tentang kejahatan atau tindak pidana internasional.
disamping
dua hal yang eksplisit, masih ada lagi hal yang secara implisit
terkandung didalamnya yang pada umunya merupakan hal yang sudah biasa
dalam suatu ilmu hukum, tetapi tidak dimunculkan didalamnya yakni,
tentang subyek-subyek hukum dan apa tujuannya. tegasnya, siapakah yang
merupakan subyek dari hukum internasional itu dan tujuan apa yang
dikehendaki atau diwujudkannya.
atas dasar itu maka dapatlah dirumuskan definisi yang lebih lengkap tentang hukum pidana internasional, sebagai berikut:
hukum
pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dari asas-asas
hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh
subyek-subyek hukumnya, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
berdasarkan definisi ini dapatlah ditarik adanya 4 unsur yang secara terpadu atau saling kait antara satu dengan lainnya, yaitu:
- hukum pidana internasional itu merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum,;
- hal atau obyek yang diaturnya, yaitu kejahatan atau tindak pidana internasional;
- subyek-subyek hukumnya, yaitu, pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau tindak pidana internasional;
- tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh hukum pidana internasional itu sendiri.
SEJARAH
Era Abad 16 Masehi
Pada era Kerajaan Romawi dibawah Kaisar Justinianus, dimana dengan kekuatan undang-undang, Justinianus telah memberikan dukungan perdamaian ke
seluruh Kerajaan Romawi termasuk jajahanya. Peraturan tentang perang
diperjelas dan harus dilandaskan pada sebab yang layak dan benar,
diumumkan sesuai dengan aturan kebiasaan yang berlaku dan dilaksanakan
dengan cara cara yang benar. Pengaturan pengaturan tersebut berasal dari
pengajaran hukum yang diberikan oleh ahli-ahli hukum seperti Cicero dan
St Augustine. Mereka yang melakukan tindakan pelanggaran atas hukum
kebiasaan dan hukum Tuhan dari suatu bangsa disebut dan dikenal kemudian
sebagai kejahatan internasional
Era Pasca Perang Salib
Perkembangan
tindak pidana internasional setelah perang salib diawali dengan
munculnya tindakan pembajakan di laut, yang dipandang sebagai musuh
semua bangsa karena telah merusak hubungan perdagangan antar bangsa yang
dianggap sangat penting pada masa itu, namun demikian perang tetap
merupakan tindakan yang dipandang tidak layak dan masih dipersoalkan
terutama dikalangan para ahli hukum dari berbagai bangsa yang sudah maju
pada masa itu.
Era Francisco de Vittoria 1480-1546
Era
penjajahan disertai dengan penyebarluasan agama Kristen dengan
cara-cara kekerasan dan kekejaman telah berkecamuk terutama yang telah
dilakukan oleh Kerajaan Spanyol terhadap penduduk pribumi Indian, pada
masa itu munculah seorang professor theologia, Francisco de Vittoria
yang memperingatkan kerajaan bahwa ancaman perang dan peperangan tidak
dapat dibenakan dengan alasan perbedaan agama, perluasan kerajaan dan
kemenangan yang bersifat pribadi sekalipun dengan alasan untuk self
defence, maka kerugian atau kekerasan sedapat-dapatnya diperkecil,
Pandangan dari Vittoria ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah bagi
perkembangan hukum hukum pidana internasional pada masa yang akan
datang
Era
Abad 16-18 ,pakar hukum Alberto Gentili, Francisco Suares, Samuel
Pufendorf dan Emerich de vattel dan Era Hugo de Groot, 1625
Perkembangan
pesat tentang masalah perang di dalam sejarah hukum internasional
terjadi pada abad 16-18 ketika penulis-penulis terkenal seperti, Alberto
Gentili, Francisco Suarez, Samuel dan Emerich de Vattel telah membahas
dan mencari dasar-dasar hukum suatu peperangan. Namun seorang
tokoh yang terkenal pada masa itu adalah seorang ahli hukum Belanda,
Hugo Grotius yang telah menulis dan menerbitkan sebuah treatise “ the
Law of War and Peace in The Tree Books” pada tahun 1625
Pasal 227 Diktat Verssailles tidak dipatuhi
Perjanjian
Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I, ternyata dalam praktek hukum
Internasional tedak berhasil melaksanakan ketentuan pasal 227 yang
menetapkan antara lain penuntutan dan penjatuhan pidana atas pelaku
kejahatan perang
Era 1920
Pada
masa ini telah tampak adanya upaya pembentukan mahkamah pidana
internasional terutama setelah terbentuknya liga bangsa-bangsa, upaya
ini berasal dari sejumlah ahli hukum terkemuka antara lain Vespasien
Pella, Megalos Ciloyanni dan Rafael. Dukungan atas upaya tersebut juga
berdatangan dari perkumpulan masyarakat international
Liga Bangsa-Bangsa, 1927
Liga
bangsa-bangsa telah membuka era baru dalam sejarah hukum pidana
internasional dengan menetapkan bahwa perang agresi atau a war of
aggression merupakan internasional crime, bahkan pernyataan LBB tersebut
merupakan awal dari penyusunan kodifikasi dalam bidang hukum pidana
internasional. Namun demikian pada saat itu pembentukan suatu Mahkamah
Internasional yang dapat menetapkan telah terjadinya pelanggaran atas
kodifikasi tersebut masih belum secara serius diperbincagkan.
Era Pasca Perang Dunia II
Perang
Dunia II telah melahirkan berbagai tindak pidana baru yang merupakan
pelanggaran atas perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani di
antara Negara anggota liga bangsa-bangsa. Pelanggaran pelanggaran
tersebut adalah dalam bentuk kekejaman yang tiada taranya serta
pelanggaran atas hukum perang yang tiada bandingnya oleh pihak tentara
jerman dan sekutunya,
kejadian-kejadian itu telah memperkuat kehendak untk mengajukan kembali
gagasan pembentukan suatu Mahkamah Pidana Internasional. Profesor
Lauterpacht dan Hans Kelsen yang menegaskan bahwa pembentukan mahkamah
itu sangat penti untuk mengadili penjahat perang dan sekaligus membawa
akibat penting terhadap perbaikan perbaikan di dalam hubungan
internasional.
Nuremberg Trial 1946 (Nazi Jerman)
Jerman
dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai kancah perang dunia kedua
dengan menganeksasi Polandia pada September 1939, tepatnya dikota Danzig
litzkrieg, pada Tahun 1940, Hitle rmenaklukkan Denmark, Norwegia,
Belanda, Belgia dan Perancis. Tahun tersebut merupakan tahun kemenagan
NaziJerman. Dalam waktu yang bersamaan dengan perang dunia kedua, bahkan
jauh sebelumnya, Hitle rtelah melakukan genosida terhadap bangsa Yahudi
hamper diseluruh daratan Eropa. Genosida yang dilakukan oleh Nazi
Jerman selanjutnya dikenal dengan istilah holocaust. Secara harafiah
‘holocaust’ berart ideskripsi genosida yang dilakukan terhadap
kelompok-kelompok minoritas diEropa dan Afrika Utara selama perang dunia
kedua oleh Nazi Jerman
PBB Menetapkan perbuatan-perbuatan sebagai delicta juris gentium
Pada
tahun 1947 masalah pembentukan Mahkamah Pidana Internasional diserahkan
kepada Internasioanal law Commision, yang terdiri dari kelompok ahli
hukum terkemuka dari seluruh Negara , yang dibentuk oleh PBB dan
bertugas menyusun suatu kodifikasi hukum internasional, bertitik tolak
dari pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masayarakat
internasional melalui PBB telah sepakat dan menempatkan
kejahatan-kejahatan yang dilakaukan semasa peperangan sebagai kejahatan
yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat
internasional, kejahatan-kejahatan itu antara lain agresi, kejahatan
perang, pembasmian etnis tertentu, pembajakan laut dll.
Resolusi PBB, 21 November 1947
Bahwa
sampai dengan awal abad ke-20 hukum pidana internasional belum
memasyarakat dikalangan pakar-pakar hukum di Negara yang menganut system
hukum common law.
Pengakuan
secara internasional terhadap pentingnya internasional criminal law
pertama kali terjadi melalui resolusi yang diajukan oleh Sidang Umum
Perserikatan bangsa-bangsa tanggal 21 November 1947, resolusi
menghendaki dibentuknya suatu panitia kodifikasi hukum internasional.
Era Tokyo Trial 1948.Tanggal 23 Desember 1948, berdasarkan keputusan
pengadilan internasional di Tokyo, Jepang, tujuh orang pemimpin negara
ini pada era Perang Dunia II, menjalani hukuman mati. Pengadilan di
Jepang ini merupakan lanjutan dari pengadilan Nurenberg Jerman yang
dilakukan untuk mengadili para penjahat perang. Sebanyak 25 orang
pejabat Jepang diadili dan 18 di antaranya dijatuhi hukuman penjara.
Hideki Toyo, Perdana Menteri Jepang pada era PD II adalah pejabat
tertinggi yang diadili di pengadilan internasional Jepang itu dan
dijatuhi hukuman mati. Tuduhan yang dinisbatkan kepada para pejabat dan
perwira Jepang tersebut adalah, membunuh, menyiksa tawanan yang sakit
dan tawanan sipil, menjalankan kerja paksa, merampok barang-barang milik
umum dan pribadi, menghancurkan kota-kota dan pedesaan tanpa alasan
militer, melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kejahatan
barbarisme lainnya terhadap warga sipil di negara-negara yang diduduki
Jepang selama PD II.