Senin, 07 Oktober 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan
bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan
uang;
b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana dimaksud pada huruf
a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;
c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain mengenai
keuangan negara diatur dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c perlu dibentuk Undang-undang tentang Keuangan Negara;
Mengingat:
Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A,
Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B,
Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih.
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan
uang, dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain
yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Pasal 3
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
rasa keadilan dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun
ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Pasal 4
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember.
Pasal 5
(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD
adalah mata uang Rupiah.
(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri
Keuangan sesuai de- ngan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan
Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala
pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili
pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
d.tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain
mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undangundang.
Pasal 7
(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan
bernegara.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan
bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan
APBD.
Pasal 8
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan
mempunyai tugas sebagai berikut :
a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan
dengan undang-undang;
f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Pasal 9
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c.melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang
dipimpinnya;
d.melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan
menyetorkannya ke Kas Negara;
e.mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
f.mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
g.menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara
/lembaga yang dipimpinnya;
h.melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya
berdasarkan ketentuan undang-undang.
Pasal 10
(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf c :
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku
pejabat pengelola APBD;
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat
pengguna anggaran/barang daerah.
(2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c.melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah;
d.melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e.menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang
daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a.menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b.menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c.melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
d.melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e.mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan
kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
f.mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g.menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11
(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun
dengan undang- undang.
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan
pusat dan pelak- sanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 12
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman
kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan
rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambatlambatnya
pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangkaekonomi makro
dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam
pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangkaekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah
Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas
anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam
penyusunan usulan anggaran.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri
Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun
berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai
nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan
undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan
Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilak- sanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun
dengan Peraturan Daerah.
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lainlain
pendapatan yang sah.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman
kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut
dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran
berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan
penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah
dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD,
Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan
plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat
Daerah.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku
pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan
belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada
DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola
keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 20
(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama
bulan Oktober tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan
undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3)DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(4)Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan dilaksanakan.
(5)APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6)Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DANBANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTAPEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan
kebijakan fiskal dan moneter.
Pasal 22
(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah
Daerah atau sebaliknya.
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari
daerah lain dengan persetujuan DPRD.
Pasal 23
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima
hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.
(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan
Negara/Perusahaan Daerah.
BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
Pasal 24
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan
menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan
daerah.
(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara
setelah mendapat persetujuan DPR.
(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah
setelah mendapat persetujuan DPRD.
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah
Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada
perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.
Pasal 25
(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola
dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan
pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan
pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden.
(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih
lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambatlambatnya
pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama
antara DPR dan Pemerintah Pusat.
(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas
bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan
atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau
disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN
tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambatlambatnya
pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama
antara DPRD dan Pemerintah Daerah.
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas
bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan
Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a.perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
b.keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
c.keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD,
dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan
APBD tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) untuk menda- patkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang
bersangkutan berakhir.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan
APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD
Pasal 30
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBNkepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN,
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan
laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Pasal 31
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDkepada DPRD berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh Badan Peme- riksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD,
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan
laporan keuangan perusahaan daerah.
Pasal 32
(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBDsebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan.
(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh
suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam
undang-undang tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI
Pasal 34
(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan
penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan
dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan
pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang
kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 35
(1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum
atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan
keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
(2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau
menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang
wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
(4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang
mengenai perbendaharaan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis
akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan
pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah
daerah, demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/
pemerintah daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 dan Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat berlakunya undang-undang ini :
1. Indische Comptabiliteitswet (ICW),Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
2. Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445;
3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381;
sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 38
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai selambatlambatnya
1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah pada tanggal 5 April 2003
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 47

Rabu, 02 Oktober 2013

UU NOMOR 18 TAHUN 2003


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang
:
  1. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan berkeadilan;
  2. bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;
  3. bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum;
  4. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Advokat.

Mengingat
:
  1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81);
  3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879);


  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316);
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327);
  4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344);


  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400);
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713);
  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3778);
  4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
  2. Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
  3. Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum dari Advokat.
  4. Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.
  5. Pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk menjaga agar dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur profesi Advokat.
  6. Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk mengemukakan alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di dalam menjalankan profesinya ataupun kaitannya dengan organisasi profesi.
  7. Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien.
  8. Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu.
  10. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hukum dan perundang-undangan.

BAB II
PENGANGKATAN, SUMPAH, STATUS, PENINDAKAN, DAN
PEMBERHENTIAN ADVOKAT
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 2
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
(2) Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(3) Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
Pasal 3
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
  1. warga negara Republik Indonesia;
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
  4. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
  5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
  6. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
  7. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
  8. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
  9. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Sumpah
Pasal 4
  1. Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
  2. Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
  • bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
  • bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga;
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
  • bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;
  • bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;
  • bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
  1. Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.

Bagian Ketiga

Status

Pasal 5
(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Bagian Keempat
Penindakan
Pasal 6
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
  1. mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
  2. berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
  3. bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan;
  4. berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya;
  5. melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan tercela;
  6. melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.
Pasal 7
  1. Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
    1. teguran lisan;
    2. teguran tertulis;
    3. pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
    4. pemberhentian tetap dari profesinya.
  1. Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
  2. Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.
Pasal 8
  1. Penindakan terhadap Advokat dengan jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, dilakukan oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sesuai dengan kode etik profesi Advokat.
  2. Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c atau pemberhentian tetap dalam huruf d, Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan putusan penindakan tersebut kepada Mahkamah Agung.

Bagian Kelima

Pemberhentian

Pasal 9
(1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.
(2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak hukum lainnya.
Pasal 10
(1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
  1. permohonan sendiri;
  2. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau
  3. berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
(2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.
Pasal 11
Dalam hal Advokat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Organisasi Advokat.

BAB III
PENGAWASAN
Pasal 12
    1. Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
    2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13
  1. Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat.
  2. Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.
  3. Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan Organisasi Advokat.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT
Pasal 14
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Pasal 17
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
  1. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.
  2. Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.
Pasal 19
  1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
  2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.
Pasal 20
  1. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya.
  2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
  3. Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut.
BAB V
HONORARIUM
Pasal 21
  1. Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.
  2. Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
BAB VI
BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA
Pasal 22
  1. Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
  2. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
ADVOKAT ASING
Pasal 23
  1. Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.
  2. Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat.
  3. Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.
  4. Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 24
Advokat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tunduk kepada kode etik Advokat Indonesia dan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
ATRIBUT
Pasal 25
Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT
Pasal 26
  1. Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat.
  2. Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
  3. Kode etik profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  4. Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
  5. Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
  6. Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung unsur pidana.
  7. Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
Pasal 27
  1. Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
  2. Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.
  3. Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Advokat.
  4. Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan membentuk majelis yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.
BAB X
ORGANISASI ADVOKAT
Pasal 28
  1. Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.
  2. Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
  3. Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
Pasal 29
  1. Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi para anggotanya.
  2. Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota.
  3. Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
  4. Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
  5. Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima calon Advokat yang akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g.
  6. Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang melakukan magang.
Pasal 30
  1. Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi Advokat adalah yang diangkat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
  2. Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi anggota Organisasi Advokat.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 31
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
  1. Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  2. Pengangkatan sebagai pengacara praktik yang pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku masih dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
  3. Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
  4. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk.
Pasal 33
Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei 2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini.
Pasal 35
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
  1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya;
  2. Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8);
  3. Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 Nomor 446 jo. Stb. 1922 Nomor 523); dan
  4. Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 Nomor 522);
  5. dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 36
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Telah Sah
pada tanggal 5 April 2003

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT
  1. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin ber-kembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana dikemukakan, peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat sampai saat dibentuknya Undang-undang ini masih berdasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb. 1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8), Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb. 1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522).
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan yang sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang ini sebagaimana diamanatkan pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.
  1. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa pada waktu seseorang diangkat
sebagai advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah diangkat sebagai advokat untuk bertempat tinggal dimanapun.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” dan “pejabat negara”, adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan “pejabat negara” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari:
  1. Pegawai Negeri Sipil;
  2. Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
  3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa Pejabat Negara terdiri dari:
    1. Presiden dan Wakil Presiden;
    2. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
    4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan;
    5. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
    6. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
    7. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri;
    8. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
    9. Gubernur dan Wakil Gubernur;
    10. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan
    11. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam huruf c mencakup Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini.
Huruf g
Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya. Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dilakukan di kantor advokat.
Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan Pasal 14.
Ayat (2)
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi Advokat baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum, di manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan, atau pengadilan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penegak hukum lainnya” adalah Pengadilan Tinggi untuk semua lingkungan peradilan, Kejaksaan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Advokat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Advokat.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat tersebut dengan kantornya.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan resiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya dan/atau hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” antara lain ahli agama dan/atau ahli etika.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pengurus partai politik.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.