Minggu, 20 September 2015

DASAR HUKUM KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI



DASAR HUKUM KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

Pada dasarnya perbuatan yang dapat dipidanakan adalah dimana perbuatan yang telah diatur dalam system hukum atau biasa disebut asas legalitas “nullum delictum nula poena sine preivia lege poenale”, namun dengan kewenangan institute atau lembaga manapun di Negara Indonesia jika tidak ada dasar hukum maka itu merupakan perbuatan melawan hukum.
Sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981 yang telah dikodifikasi, sesuai dengan Pasal 6 KUHAP, maka yang dimaksud dengan penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara R.I dan Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi kewenangan khusus (dalam hal ini tidak termasuk kejaksaan), sehingga di Negara R.I ini Kepolisian merupakan penyidik tunggal terhadap perkara apapun. Didalam peraturan peralihan KUHAP yaitu Pasal 284 ayat (2) disebutkan: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiaan untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.” Dengan penjelasan tersebut bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan,penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU nomor 7 Drt tahun 1955 dan UU tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi. Untuk tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983 dalam Pasal 17 secara tegas menyebutkan Kejaksaan sebagai Penyidik untuk tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih lengkapnya isi Pasal tersebut adalah sebagai berikut : “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada saat berlakunya KUHAP, di mana ditetapkan bahwa tugas-tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum.
Andi Hamzah, dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana halaman 159, Andi Hamzah perpendapat bahwa petunjuk untuk menyempurnakan penyidikan merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan dan penuntutan tidak dapat dipisahkan. sehingga dengan demikian sebenarnya kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun.
Lex specialis derogath legi generalis merupakan asas yang mengatur UU yang khusus menyampingkan UU umum maka dengan demikian sesuai UU Kejaksaan yakni UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 huruf d Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. kemudian ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP JoPasal 17 Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa masih berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindakpidana khusus). Di samping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum keJaksaan melakukan penyidikan adalah Pasal 2 TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tanggal 13 Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan menugaskan Kejaksaan untuk melakukan akselerasidalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan: Tugas dan kewenangan Jaksa adalah: “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU”. Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengantindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Jo. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi Kejaksaan sebagai penyidik dalam perkaratindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat dipahami dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam praktek peradilan ada pengadilan yang tidak dapat menerima alasan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan jawaban untuk menanggapi persoalan hukum tersebut dengan mengeluarkan pendapat/fatwa nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian bahwa Jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 dengan dasar:
§  Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju undang-undang nomor 20 tahun 2001
§  Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
§  Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya.
§  Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
§  Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor 16 tahun 2004.
Konstruksi hukum Mahkamah Agung yaitu bahwa berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukanberdasarkan hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga oleh karena KUHAP ada aturan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya jo Pasal 17 PP nomor 27 tahun 1983 maka jelas Jaksa memiliki kewenangan dalam menyidik tindak pidana korupsi.
Menurut Swarsono pembagian kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan Kejaksaan secara tegas (strict) seperti keinginan pemohon merupakan dalil yang keliru. Sebab, dalam praktik di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan dari wewenang melakukan penuntutan. “Seperti di Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama praktek di Jepang, Jerman,dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP Rumania dan RRC penyidikan delik korupsi khusus wewenang Jaksa,”