DASAR
HUKUM KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pada dasarnya perbuatan yang dapat
dipidanakan adalah dimana perbuatan yang telah diatur dalam system hukum atau
biasa disebut asas legalitas “nullum delictum nula poena sine preivia lege
poenale”, namun dengan kewenangan institute atau lembaga manapun di Negara
Indonesia jika tidak ada dasar hukum maka itu merupakan perbuatan melawan
hukum.
Sejak berlakunya Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981 yang telah
dikodifikasi, sesuai dengan Pasal 6 KUHAP, maka yang dimaksud dengan penyidik adalah
Pejabat Kepolisian Negara R.I dan Pejabat pegawai Negeri Sipil yang diberi
kewenangan khusus (dalam hal ini tidak termasuk kejaksaan), sehingga di Negara
R.I ini Kepolisian merupakan penyidik tunggal terhadap perkara apapun. Didalam
peraturan peralihan KUHAP yaitu Pasal 284 ayat (2) disebutkan: “Dalam waktu dua tahun setelah
undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualiaan untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku
lagi.” Dengan penjelasan tersebut bahwa yang dimaksud dengan ketentuan khusus
adalah ketentuan yang menyangkut pengusutan,penuntutan dan peradilan tindak
pidana ekonomi (UU nomor 7 Drt tahun 1955 dan UU tentang Pemberantasan tindak
Pidana korupsi. Untuk tidak menimbulkan keragaman penafsiran dalam Peraturan Pemerintah
nomor 27 tahun 1983 dalam Pasal 17 secara tegas menyebutkan Kejaksaan sebagai Penyidik untuk
tindak pidana tertentu (korupsi). Untuk lebih lengkapnya isi Pasal tersebut
adalah sebagai berikut : “Penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat
(2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat Penyidik yang berwenang
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada saat berlakunya KUHAP,
di mana ditetapkan bahwa tugas-tugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada
penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP, maka kejaksaan tidak lagi
berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak pidana umum.
Andi Hamzah, dalam bukunya Pengantar
Hukum Acara Pidana halaman 159, Andi Hamzah perpendapat bahwa petunjuk untuk
menyempurnakan penyidikan merupakan bagian dari penyidikan, sehingga penyidikan
dan penuntutan tidak dapat dipisahkan. sehingga dengan demikian sebenarnya kejaksaan
(Jaksa Penuntut Umum) merupakan penyidik dalam perkara tindak pidana apapun.
Lex specialis derogath legi generalis
merupakan asas yang mengatur UU yang khusus menyampingkan UU umum maka dengan
demikian sesuai UU Kejaksaan yakni UU No 16 Tahun 2004 Pasal 30 huruf d Kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan undang-undang. kemudian ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP
JoPasal 17 Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1983, Jaksa masih berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu (tindakpidana
khusus). Di samping PP nomor 27 tahun 1983 tersebut yang menjadi dasar hukum keJaksaan
melakukan penyidikan adalah Pasal 2 TAP MPR Nomor : XI/MPR/1998 tanggal 13
Nopember 1983 yang secara eksplisit mengakui eksistensi Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai penyidik tindak pidana korupsi dan menugaskan Kejaksaan untuk
melakukan akselerasidalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan: Tugas dan
kewenangan Jaksa adalah: “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan UU”. Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengantindak
pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor
26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Jo. Undang-Undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi Kejaksaan sebagai
penyidik dalam perkaratindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat dipahami
dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam
praktek peradilan ada pengadilan yang tidak dapat menerima alasan bahwa Jaksa
berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Mahkamah Agung telah memberikan
jawaban untuk menanggapi persoalan hukum tersebut dengan mengeluarkan pendapat/fatwa
nomor KMA/102/III/2005 tanggal 9 Maret 2005, dimana pada pokonya fatwa tersebut berpendirian
bahwa Jaksa mempunyai kewenangan untuk menyidik perkara tindak pidana korupsi
sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 dengan dasar:
§ Pasal 26 UU nomor 31 tahun 1999 ju
undang-undang nomor 20 tahun 2001
§ Pasal 27 UU nomor 31 tahun 1999 Jo.
Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
§ Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan
penjelasannya.
§ Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983
§ Pasal 30 ayat (1) huruf d UU nomor
16 tahun 2004.
Konstruksi hukum Mahkamah Agung yaitu bahwa
berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 tahun 2001 Penyidikan, Penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi dilakukanberdasarkan hukum Acara
Pidana (KUHAP), sehingga oleh karena
KUHAP ada aturan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan penjelasannya jo Pasal 17 PP
nomor 27 tahun 1983 maka jelas Jaksa memiliki kewenangan dalam menyidik tindak
pidana korupsi.
Menurut Swarsono pembagian
kewenangan penyidikan atau penuntutan antara kepolisian dan Kejaksaan secara
tegas (strict) seperti keinginan pemohon merupakan dalil yang keliru. Sebab,
dalam praktik di banyak negara wewenang melakukan penyidikan tidak dipisahkan
dari wewenang melakukan penuntutan. “Seperti di
Amerika, kejaksaan berwenang baik melakukan penyidikan maupun penuntutan dan
FBI berada di bawah Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hal yang sama
praktek di Jepang, Jerman,dan negara-negara lainnya. Bahkan, menurut KUHAP
Rumania dan RRC penyidikan delik korupsi khusus wewenang Jaksa,”