ARBITRASE
YANG DIMAKSUD DENGAN
LEMBAGA ARBITRASE ?
APAKAH LEMBAGA ARBITRASE
BERKAITAN DENGAN PHI ?
DASAR HUKUM LEMBAGA ARBITRASE ?
TATA CARA / PROSES PERKARA
PADA LEMBAGA ARBITRASE ?
CONTOH KASUS ?
1.
ARBITRASE
A. Pengertian Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata
arbitrare (latin), arbitrage (belanda), arbitration (inggris) dan sheidspruch
(jerman), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sengketa menurut kebijaksanaan
atau perdamaian melalui arbiter atau wasit.
Dalam hubungan bisnis atau perjanjian
selalu ada kemungkinan timbulnya suatu sengketa, untuk menyelesaikan sengketa
ada beberapa cara yang bisa dipilih yaitu melalui Negosiasi, Mediasi,
Pengadilan, dan Arbitrase.
Definisi arbitrase termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 “arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Pengertian lembaga arbitrase termuat
dalam Pasal I angka 8 UU Nomor 30 Tahun
1999 “ Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat mengikat mengenai suatu hubungan hukum
tertentu dalam hal belum timbul sengketa”. Dalam literature dijumpai beberapa pendapat
oleh para ahli hukum tentang arbitrase diantaranya :
1. Frank Elkoury dan Edna
Elkoury dalam bukunya “How Arbitration Works” disebutkan
bahwa arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh
para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh para pihak
secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral
sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasar kan dalil-dalil
dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan
tersebut secara final dan mengikat.
2. Gary Goodpaster,
mengemukakan sebagai berikut :“Arbitration is the private
adjudication of disputes parties, anticipating possible disputes or
experiencing an actual dispute, agree to submit their dispute to a decision
maker they in some fashion select”.
3. Subekti, menyebutkan
bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seseorang
hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada
atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka
pilih atau tunjuk tersebut.
4. Priyatna Abdurrasid
mengemukakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemerikaan suatu sengketa yang
dilakukan secara yudisial seperti dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa,
dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para
pihak.
5. M.N. Purwosutjipto
menyatakan bahwa Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian di mana para
pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah
pihak.
6. Dalam Black Law
Dictionary dijelaskan sebagai berikut :“Arbitration is the reference
of a dispute to an impartial (third) person chosenby the parties to the dispute
who agree in advance to abide by arbitrator’s award issue after hearing at
which both parties have and opportunity to be head. An arrangement for taking
and abiding by the judgement of selected persons in some dispute matter, istead
of carrying it to establishtribunal of justice, an is intended to avoid the
formalities the delay, the expense and
taxation of ordinary litigation”.
7. Dalam Pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun
1999 disebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
8. Arbitrase menurut Komisi
Hukum Internasional (International Law Commission) adalah a procedure for the
settlement of disputes between states by binding award on the basis of law and
as a result of an undertaking voluntarily accepted.
Dari pengertian Arbitrase berdasarkan
Undang-Undang dapat diketahui bahwa perjanjian dalam Arbitrase harus tertulis,
bukan hanya sekedar perjanjian secara lisan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah sebagai berikut :
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur arbitrase adalah sebagai berikut :
1. Cara penyelesaian
sengketa secara privat atau di luar pengadilan;
2. Atas dasar perjanjian
tertulis dari para pihak;
3. Untuk mengantisipasi
sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi;
4. Dengan melibatkan pihak
ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan; dan
5. Sifat putusannya adalah final dan
mengikat.
Sesungguhnya jika kita buka lagi
lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa pranata arbitrase
ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894, yaitu sejak Pemerintah Hindia
Belanda memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat dengan Rv). Ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam pasal 615
sampai dengan 651 R.v. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat kita temui
apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan serta fungsi arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan.Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.
Dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman kolonial Belanda ini adalah pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Jadi pasal ini jelas memberi kemungkinan bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar pengadilan.Namun demikian HIR maupun RGb tidak membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pasal 377 HIR terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat Rv,S.1847-52 jo 1849-63).Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tampaknya harus menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.
B. Obyek Sengketa dalam
Arbitrase
Arbitrase merupakan cara penyelesaian
sengketa melalui “adjudikatif privat”, yang putusannya bersifat final dan
mengikat. Arbitrase sekarang diatur diatur UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999
disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Adapun objek
pemeriksaan Arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua
sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang
tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 1999 yaitu
:“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Penjelasannya tidak
memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Jika dihubungkan dengan
penjelasan Pasal 66, termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah
kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
1. Perniagaan
2. Perbankan
3. Keuangan
4. Penanaman Modal
5. Industri dan;
6. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Selanjutnya Pasal 5 ayat (2)
menyebutkan bahwa :“Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian”. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka
kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
C. Keuntungan Arbitrase
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dinilai menguntungkan karena beberapa alasan sebagai
berikut:
a. Kecepatan
dalam proses
Suatu
persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama
perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan.
Apabila para pihak tidak menentukan jangka waktu tertentu, lamanya waktu
penyelesaian akan ditentukan oleh majelis arbitrase berdasarkan aturan-aturan
arbitrase yang dipilih. [Pasal 31 ayat (3) menyebutkan: “Dalam hal para pihak
telah memilih acara arbitrase … harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka
waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat
arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan
menentukan.”)
Demikian pula,
putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, sehingga tidak
dimungkinkan upaya hukum banding atau kasasi. Dalam Pasal 53 UU No. 30/1999
disebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan
atau upaya hukum apa pun. Sedangkan dalam Pasal 60 secara tegas disebutkan:
“Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak.”
Sebelum
berlakunya UU No. 30/1999, pihak yang kalah berhak mengajukan banding atas
putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung, yang memeriksa fakta-fakta dan
penerapan hukumnya.Dengan demikian, putusan arbitrase tidak bersifat final dan
mengikat para pihak sampai permohonan banding tersebut ditolak. (Lihat Pasal
641 Rv juncto Pasal 15 dan 108 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Mahkamah
Agung.)Selain itu, dalam pengaturan internasional, Pasal 35 ayat (1)
Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL menyebutkan bahwa: An arbitral award,
irrespective of the country in which it was made, shall be recognized as
binding and,… shall be enforced. Jadi, putusan arbitrase bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara
mana pun ia dijatuhkan.
b. Pemeriksaan
ahli di bidangnya
Untuk memeriksa
dan memutus perkara melalui arbitrase, para pihak diberi kesempatan untuk
memilih ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam dan sangat menguasai
hal-hal yang disengketakan.Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan yang
diberikan dan putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan
kualitasnya.Hal itu dimungkinkan karena selain ahli hukum, di dalam badan
arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli
perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut, dan
lain-lain.
c. Sifat
konfidensialitas
Pemeriksaan
sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup,
dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang
tertutup tersebut hampir tidak pernah dipublikasikan.Dengan demikian,
penyelesaian melalui arbitrase diharapkan dapat menjaga kerahasiaan para pihak
yang bersengketa. Dalam Pasal 27 UU No. 30/1999 disebutkan bahwa: “Semua
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.”
Berbeda dari
arbitrase, proses pemeriksaan dan putusan di pengadilan harus dilakukan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum. Proses yang bersifat terbuka dapat
merugikan para pihak yang bersengketa karena rahasia (bisnis) mereka yang
seharusnya tertutup rapat diketahui oleh masyarakat luas.
Sebagai
perbandingan dapat dilihat Penjelasan UU No. 30/1999, yang menyebutkan bahwa
pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan lembaga
peradilan. Kelebihan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. kerahasiaan
sengketa para pihak dijamin;
b.
keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat
dihindari;
c. para pihak
dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur, dan adil;
d. para pihak
dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan
tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan
arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Penjelasan UU
No. 30/1999 menegaskan bahwa pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas
tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat
lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu satunya kelebihan arbitrase
dibandingkan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya karena putusannya tidak
dipublikasikan.Selanjutnya, di dalam Penjelasan disebutkan bahwa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama
untuk kontrak bisnis yang bersifat internasional.
Berdasarkan
penelitian penulis tentang keefektifan penggunaan arbitrase dapat disimpulkan
bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada
asumsi-asumsi sebagai berikut:
a. lebih cepat,
karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya,
dan tenaga;
b. dilakukan
oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang
tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakan, sehingga hasilnya
(putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan
c. kerahasiaan
terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum,
sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh.
Dengan beberapa
alasan tersebut, arbitrase lebih disukai dan dinilai lebih efektif daripada
penyelesaian sengketa di pengadilan.Namun demikian, selain beberapa keuntungan
atas pilihan penggunaan arbitrase tersebut, arbitrase memiliki beberapa
kelemahan yang perlu mendapat perhatian dari para pihak yang bersengketa dan
penasehat hukumnya, para praktisi hukum lainnya, dan dari kalangan akademisi,
termasuk ahli arbitrase.Jika beberapa kelemahan tersebut (lihat uraian
kelemahan arbitrase) tidak diantisipasi, maka hal itu dapat membuat arbitrase
kehilangan baik daya guna (keefektifan) maupun hasil guna (efisiensi)-nya.
Di bawah ini keutungan menggunakan
Arbitrase yang dikemukakan oleh para ahli sekaligus dari tinjauan undang-undang
: Gary Goodpaster, Felix O. Soebagjo, dan Fatmah Jatim, dalam “Tinjauan terhadap Arbitrase
Dagang Secara Umum dan Arbitrase Dagang di Indonesia” dalam buku Arbitrase di
Indonesia” , menyebutkan ada beberapa alasan memilih
arbitrase, yaitu :
a. Kebebasan, kepercayaan, dan
keamanan;
b. Keahlian (Expertise);
c. Cepat dan hemat biaya;
d. Bersifat rahasia;
e. Bersifat non-preseden;
f. Kepekaan arbiter;
g. Pelaksanaan keputusan;
h. Kecenderungan yang Moden.
Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama dalam
bukunya Arbitrase Dagang Internasional juga menyebutkan beberapa alasan yang
menyebutkan beberapa alasan yang menjadin arbitrase demikian populer dalam
transaksi dagang internasional, antara lain :
• Dihindarkannya publisitas;
• Tidak banyak formalitas;
• Bantuan pengadilan hanya taraf
eksekusi;
• Baik untuk pedagang-pedagang
bonafide;
• Ada jaminan dari
perkumpulan-perkumpulan pengusaha;
• Lebih murah dan lebih cepat.
Mengutip penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999, pada umumnya dikatakan bahwa pranata Arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan pranata peradilan, yaitu antara lain :
a. Dijamin kerahasiaan
sengketa para pihak;
b. Dapat dihindari kelambatan
yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif;
c. Para pihak dapat memilih
arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat
menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat
penyelenggaraan arbitrase; dan
e. Putusan arbiter
merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur)
sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Dari keterangan di atas dapat
dimengerti bila para pihak memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketa,
misalnya bagi perusahaan yang berusaha menjaga nama baiknya akan lebih
menguntungkan apabila kerahasiaannya terjamin karena tak jarang nama baik
dianggap sebagai salah satu sarana mencapai tujuan perusahaan dan demi
berlangsungnya sebuah perusahaan tersebut, begitu juga dengan pihak yang
tergolong orang pribadi. Dalam arbitrase juga bisa mempercepat dicapainya
solusi atas sebuah sengketa karen prosedural dan administratif juga lebih
mudah. Dalam hal pihak arbiter bisa memilih arbiter yang keahliannya sesuai
dengan sengketa yang sedang terjadi, misalnya dalam hal cyber law maka arbiter
yang dipilih bisa dari arbiter yang ahli dalam bidang cyber law sehingga
diharapkan putusan akan lebih diterima oleh para pihak. Begitu juga dengan
pilihan hukum yang dipakai bisa menggunakan hukum yang paling sesuai dengan
persoalan yang sedang dihadapi dan lengkap pengaturannya sesuai kesepakatan
para pihak.Arbitrase diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan para pihak dan
mewujudkan kemudahan-kemudahan dalam penyelesaian sengketa tentunya yang masuk
kepada kompetensi sengketa yang diperbolehkan diselesaikan dengan Arbitrase dan
penyelesaian sengketa alternatif.
D. Kelemahan Arbitrase
Beberapa faktor
yang merupakan kelemahan arbitrase adalah sebagai berikut:
a. Hanya untuk
para pihak bona fide
Arbitrase hanya
bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bona fide (bonafid) atau jujur
dan dapat dipercaya.Para pihak yang bonafid adalah mereka yang memiliki
kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan, pihak yang
dikalahkan harus secara suka rela melaksanakan putusan arbitrase. Sebaliknya,
jika ia selalu mencari-cari peluang untuk menolak melaksanakan putusan
arbitrase, perkara melalui arbitrase justru akan memakan lebih banyak biaya,
bahkan lebih lama daripada proses di pengadilan. Misalnya, pengusaha yang
dikalahkan tidak setuju dengan suatu putusan arbitrase, maka ia dapat melakukan
berbagai cara untuk mendapatkan stay of execution (penundaan pelaksanaan
putusan) dengan membawa perkaranya ke pengadilan.
Sering ditemui
di dalam praktik bahwa para pihak, walaupun mereka telah memuat klausul
arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya
ke pengadilan.Anehnya, meskipun telah terdapat klausul arbitrase di dalam
perjanjian, masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut.
(Padahal, dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa: “Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase…”)
b.
Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan
arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan
putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.Meskipun arbiter
memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis
arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa.
Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil, demikian
pula sebaliknya (pihak yang menang akan mengatakan putusan tersebut adil).
Ketergantungan secara mutlak terhadap para arbiter dapat merupakan suatu
kelemahan karena substansi perkara dalam arbitrase tidak dapat diuji kembali
(melalui proses banding).
Meskipun
semakin banyak ahli arbitrase yang mempertanyakan kewenangan mutlak arbiter
serta putusannya yang bersifat final dan mengikat, penulis tidak sependapat;
dan tidak melihat hal itu sebagai suatu kelemahan.Artinya, itu merupakan risiko
yang seharusnya telah diantisipasi oleh para pihak, dan risiko tersebut harus
diterima sejak awal ketika mereka memilih lembaga arbitrase. Oleh karena itulah
para pihak diperkenankan untuk memilih sendiri arbiter (yang terbaik dan paling
menguntungkan dirinya) yang akan menangani sengketa mereka.
c. Tidak ada
preseden putusan terdahulu
Putusan
arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak
dipublikasikan.Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan
lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap
putusan-putusan arbitrase sebelumnya.Artinya, putusan-putusan arbitrase atas
suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung
argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya.
Secara teori
hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan
yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan
datang. Hal itu akan mengurangi kepastian hukum dan bertentangan dengan asas
similia similibus, yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama.
d. Masalah
putusan arbitrase asing
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan
pengakuan dan pelaksanaan putusannya.Kesulitan itu menjadi masalah yang sangat
penting karena biasanya di negara pihak yang kalah terdapat harta yang harus
dieksekusi.Oleh karena itu, berhasil tidaknya penyelesaian sengketa melalui
arbitrase berkaitan erat dengan dapat tidaknya putusan arbitrase tersebut
dilaksanakan di negara dari pihak yang dikalahkan.
Meskipun ADR memiliki beberapa
keunggulan, tetapi ADR sebenarnya merupakan mekanisme yang rentan terutama
untuk untuk kondisi Indonesia, karena ADR juga mempunyai kelemahan-kelemahan,
di antaranya :
a. ADR belum dikenal secara
luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh
masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BAMUI dan
P3BI.
b. Masyarakat belum menaruh
kepercayaan yang memadai, masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai,
sehingga enggan memasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga ADR. Hal ini dapat
dilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melalui
lembaga-lembaga ADR yang ada.
c. Lembaga ADR tidak
mempunyai kewenangan melakukan eksekusi putusannya. Meskipun keputusannya
bersifat mengikat, tetapi untuk melaksanakannya harus melalui “fiat eksekusi” pengadilan.Jadi
wibawa lembaga pengadilan kalah dengan wibawa pengadilan.
d. Kurangnya kepatuhan para
pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam ADR, sehingga mereka
seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan cara mengulur waktu,
perlawanan, gugatan pembatalan, dan sebagainya.
e. Kurangnya kesediaan para
pihak yang bersengketa untuk melepaskan sebagian hak-haknya. Budaya litigasi
yang sudah tertanam, membuat para pihak berpikir win-lose solution,
dan bukan win-win solution sebagaimana yang dikehendaki oleh ADR.
f. Kurangnya para pihak
memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanisme extra judicial, ADR
hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
E. Jenis-Jenis Arbitrase
Dengan mengacu konvensi-konvensi
seperti : Convention of the settlement of Investment Disputes Between States
and National of Other State atau Convention on the Recognition And Enforcement
of Foreign Arbitral Awards (Konvensi New York 1958) maupun
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita
dapat mengemukakan beberapa jenis arbitrase yaitu :
1. Arbitrase ad hoc;
Arbitrase ad hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase
yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu.Arbitrase
ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu
diputuskan.
2. Arbitrase institusional;
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering disebut “permanent arbitral body” .Arbitrase
ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian.Faktor kesengajaan dan sifat permanen
ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase
institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan
arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase institusional ini berdiri untuk selamanya
dan tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai.
F. Keputusan Arbitrase
Putusan arbirase umumnya mengikat para
pihak.Penaatan terhadapnya dipandang tinggi.Biasanya putusannya bersifat final
dan mengikat.Itu karena arbitrase dilaksanakan antara para pihak sendiri atas
kesadaran akan penyelesaian sengketa. Putusan arbitrase merupakan suatu putusan
yang diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas suatu
perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun persengketaan mengenai suatu
pokok persoalan yang lahir dari suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula
arbitrase) yang diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase untuk
diputuskan olehnya. Berdasarkan pada “tempat di mana arbitrase tersebut
diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan ke dalam :
1. Putusan arbitrase
nasional, yang merupakan putusan arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di
negara Republik Indonesia;
2. Arbitrase Internasional
atau arbitrase asing, Yang merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di
negara di luar negara Republik Indonesia.
Untuk menentukan apakah putusan
arbitrase itu merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional,
didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan
hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut.Kalau
mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusan
dijatuhkan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, putusan arbitrase
tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional. Sebaliknya walaupun
para pihak yang bersengketa itu bukan berkewarganegaraan Indonesia, tetapi
mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya,
maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional bukan
putusan arbitrase internasional.
G. Badan Arbitrase Nasional
Indonesia ( BANI )
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (
BANI ) adalah sebuah badan yang mempunyai hubungan erat dengan KAMAR DAGANG dan
INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya memberikan penyelesaian yang adil dan
cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal
perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang
bersifat Internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI adalah bebas
(otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain. Indonesia mulai memiliki pusat
arbitrase nasional sejak tahun 1977.Indonesia juga memiliki sebuah lembaga
arbitrase yang dipusatkan pada transaksi rencana perbankan dan keuangan Islam.
Lembaga ini dikenal sebagai BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) yang
didirikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Yayasan BAMUI, sebagai sebuah
mekanisme alternatif yang menyangkut perselisihan komersial di Indonesia. Penyelesaian sengketa dengan
menggunakan arbitarase BANI jika sidang pertama pemohon tidak hadir, tanpa
adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan dinyatakan gugur. Hal
ini sesuai dengan ketentuan HIR mengenai perkara perdata. Namun jika termohon
yang tidak datang pada sidang pertama maka akan dipanggil sekali lagi untuk
menghadap di muka sidang pada waktu kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya
empat belas hari lagi sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Jika termohon
tidak datang juga, maka pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya si termohon
dan tuntutan si pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu oleh BANI
dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi ketentuan ini sesuai
dengan verstek dalam HIR.14 Ini
berarti BANI termasuk ke dalam arbitrase institusional yang bersifat nasional
karena arbitrase ini disediakan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan
untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.Faktor kesengajaan dan
sifat permanen ini merupakan ciri pembeda dengan arbitrase ad hoc.Selain itu
arbitrase oleh BANI ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang berbeda dengan
arbitrase ad hoc.Selain itu arbitrase oleh BANI ini berdiri untuk selamanya dan
tidak bubar meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai dan ruang
lingkup keberadaan dan yurisdiksinya hanya meliputi kawasan negara yang
bersangkutan.Sedangkan alat bukti yang sah menurut BANI dapat dilihat pada
pasal 14 peraturan prosedur BANI yaitu :
• Alat bukti keterangan para pihak
dalam bentuk pengakuan,
• Alat bukti keterangan saksi,
• Alat bukti keterangan ahli.
Pasal 14 BANI ini tidak menyebutkan
alat bukti surat atau dokumen. Namun secara implisit pasal 14 ayat 1 menyatakan
bahwa “serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu”, ini
berarti sesuai dengan praktek dan perundang-undangan di Indonesia adalah bukti
surat, persangka (vermoeden) dan alat bukti sumpah. Diharapkan dalam alternatif
penyelesaian sengketa dapat mendorong mewujudkan semakin tingginya keadilan
yang tercapai dalam bidang hukum khususnya hukum yang berkompetensi ditangani
dengan pengadilan ataupun penyelesaian sengketa alternatif.
2.
KAITAN LEMBAGA ARBITASE
DENGAN PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PHI)
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 memberi peluang pada para pihak untuk penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase.Perkara yang
ditangani lembaga arbitrase adalah sengketa perihal perselisihan kepentingan
dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan di dalam suatu perusahaan.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu
arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 adalah merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang
hubungan industrial Sesuai ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui arbitrase dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak, putusan
arbitrase bersifat pinal dan tetap, karena itu tidak dapat diajukan gugatan ke
PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), terkecuali bila dalam hal-hal tertentu
dapat dilakukan pembatalan ke MA (Mahkamah Agung) RI. Arbiter untuk
penyelesaian sengketa hubungan industrial diangkat berdasarkan Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan.Ia bertugas untuk memberikan putusan atas penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dimaksud. Terhadap putusan Arbiter yang
menimbulkan keraguan , pihak yang meragukan dapat memajukan tuntutan ingkar
terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan
alasanalasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Untuk perkara seperti
ini Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan terhadap hal tersebut tidak
dapat diajukan perlawanan. Apabila untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut Arbitrase dapat mencapai kesepakatan, maka Arbiter harus
membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
disaksikan eorang Arbiter atau Majelis Arbiter.Penetapan Akte Perdamaian
tersebut didaftarkan di Pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan
sebagaimana lazimnya mengeksekusi suatu putusan.Putusan Kesepakatan Arbitrase
tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masingmasing pihak satu
rangkap, serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial.Terhadap putusan
tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi. Karenanya
terhadap sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke PHI
(Pengadilan Hubungan Industrial).
3.
DASAR HUKUM LEMBAGA
ARBITRASE
Secara singkat
sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.”Demikian pula halnya
dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap
berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai
dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
B. Pasal 377
HIR
Ketentuan
mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG
yang menyatakan bahwa :
“Jika orang
Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh
juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan
pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini
adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
C. Pasal 615
s/d 651 RV
Peraturan
mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga BabPertama Pasal 615
s/d 651 RV, yang meliputi :
– Persetujuan
arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
– Pemeriksaan
di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Putusan
Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
– Upaya-upaya
terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
– Berakhirnya
acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D. Penjelasan
Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah
Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase
dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
E. Pasal 80 UU
NO. 14/1985
Satu-satunya
undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No.
14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang
termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan
pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah
Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang
Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950
menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang
kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang
lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal 22
ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini
Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:“Jikalau di antara kedua belah pihak
tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi
tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah
pihak”.
Pasal 22 ayat
(3) UU No. 1/1967 :“Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh
pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai
ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No.
5/1968
yaitu mengenai
persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan
Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas
“International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between
States and Nationals of Other States”.Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa
pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu
perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre
for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
H. Kepres. No.
34/1981
Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of
Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi
Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan
pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
I. Peraturan
Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya
dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah
Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di
keluarkan.
J. UU No. 30
Tahun 1999
Sebagai
ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, makapemerintah
mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian
Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan
peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR,
dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan
hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang
terdapat dalam UU NO.30 Tahun1999.
Pengaturan Arbitrase Sebelum UU No. 30 Tahun 1999
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelum berlakunya UU
No. 30/1999, ketentuan-ketentuan tentang arbitrase tercantum dalam Pasal 615
s.d. Pasal 651 dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang merupakan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Perdata (selanjutnya disingkat KUHA Perdata) untuk
penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan dengan
mereka.Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal pembagian tiga kelompok
penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan peradilan yang berbeda, yaitu untuk
Golongan Bumiputera (penduduk pribumi) berlaku hukum Adat dengan pengadilan
Landraad dan hukum acaranya Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesich Reglement yang disingkat HIR), dan untuk Golongan Timur Asing dan
Eropa berlaku Burgerlijke Wetboek atau BW (KUH Perdata), dan Wetboek van
Koophandel atau WvK (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dengan hukum acaranya
Rv.Sejak kemerdekaan 1945 sampai saat ini, Indonesia masih menggunakan BW dan
WvK dalam hukum positifnya. Sehubungan dengan hal itu pendapat Peter J. Burns
(di dalam Abstract bukunya) yang mempertanyakan pembedaan konvensional antara
Timur dan Barat sangat menarik untuk dikaji.Menurutnya telah terjadi ironi
dalam perjuangan panjang bangsa Indonesia untuk memisahkan diri dari Belanda
karena setelah merdeka identitas bangsa Indonesia justru dibentuk oleh ide-ide
Belanda, secara asli, daripada oleh kepribumiannya sendiri.Identitas tersebut
(termasuk dalam sistem hukum) berakar dari Eropa daratan.Walaupun aturan-aturan
hukum acara perdata yang terdapat dalam Rv tidak dijumpai dalam HIR, ia
kemudian menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan tentang hukum acara
perdata setelah Indonesia merdeka.
Selanjutnya, ketentuan arbitrase juga (secara implisit) terdapat dalam
Pasal 377 HIR dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten yang disingkat RBg). Dalam Pasal 377 HIR dan
Pasal 705 RBg disebutkan bahwa: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing
menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib
memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.”
Dari kedua
pasal tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka
melalui juru pisah atau arbitrase;
b. juru pisah atau arbitrase diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan
putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul; dan
c. arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan
pengadilan bagi golongan Eropa.
Pasal 377 HIR dan 705 RBg memberi peluang bagi para pihak membawa
sengketa mereka di luar pengadilan untuk diselesaikan. Mengingat HIR dan RBg
tidak mengatur arbitrase lebih jauh lagi, Pasal 377 HIR dan 705 RBg menunjuk
ketentuan-ketentuan dalam Rv yang berlaku bagi golongan Eropa dengan tujuan
untuk menghindari rechts vacuum (kekosongan hukum). Peraturan pengadilan yang
berlaku bagi orang Eropa sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut adalah
semua ketentuan acara perdata yang diatur dalam Rv, yaitu dalam Buku Ketiga Bab
I (dari Pasal 615 s.d. Pasal 651).Ketentuan Pasal 615 s.d. Pasal 651 Rv
mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 615
s.d. 623 Rv: Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter.
2. Pasal 624
s.d. 630 Rv: Pemeriksaan di muka arbitrase.
3. Pasal 631
s.d. 640 Rv: Putusan arbitrase.
4. Pasal 641
s.d. 647 Rv: Upaya-upaya atas putusan arbitrase.
5. Pasal 648
s.d. 651 Rv: Berakhirnya acara arbitrase.
Mengingat
pesatnya perkembangan dunia usaha dan lalu lintas perdagangan nasional dan
internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Rv sebagai pedoman arbitrase dinilai sudah tidak sesuai lagi.
Misalnya, dalam Rv tidak diatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yang saat ini telah menjadi kebutuhan ”sehari-hari” dalam
kegiatan bisnis internasional.
Masalah-masalah
lain yang dinilai tidak sesuai lagi dalam Rv contohnya adalah perjanjian
arbitrase tidak harus tertulis (Pasal 615 ayat 3), diizinkannya banding ke
Mahkamah Agung atas putusan arbitrase (Pasal 641 ayat 1), larangan bagi wanita
untuk menjadi arbiter (Pasal 617 ayat 2), dan lain-lain. Semua itu bertentangan
dengan kecenderungan dalam perkembangan hukum modern saat ini.Dengan demikian,
perubahan yang bersifat filosofis dan substantif merupakan suatu conditio sine
qua non.
4.
TATA CARA / PROSES PERKARA
PADA LEMBAGA ARBITRASE
Pasal 1. Kesepakatan Arbitrase
Apabila para pihak dalam suatu
perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang
timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang
bersangkutan ke arbitrase di hadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(“BANI”), atau menggunakan Peraturan Prosedur BANI, maka sengketa tersebut
diselesaikan dibawah penyelenggaraan BANI berdasarkan Peraturan tersebut,
dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara
tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian
sengketa secara damai melalui Arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para
pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.
Pasal 2. Prosedur yang berlaku
Peraturan Prosedur ini berlaku
terhadap arbitrase yang diselenggarakan oleh BANI. Dengan menunjuk BANI
dan/atau memilih Peraturan Prosedur
BANI untuk penyelesaian sengketa, para pihak dalam perjanjian atau sengketa
tersebut dianggap sepakat untuk meniadakan proses pemeriksaan perkara
melaluiPengadilan Negeri sehubungan dengan perjanjian atau sengketa tersebut,
dan akan melaksanakan setiap putusan yang diambil oleh Majelis Arbitrase berdasarkan
Peraturan Prosedur BANI.
Pasal 3. Definisi
Kecuali secara khusus ditentukan lain,
maka istilah-istilah di bawah ini berarti:
a. “Majelis
Arbitrase BANI” atau “Majelis”, baik dalam huruf besar atau huruf
kecil, adalah Majelis yang dibentuk
menurut Prosedur BANI dan terdiri
dari satu atau tiga atau lebih arbiter;
b. “Putusan”,
baik dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah setiap putusan yang ditetapkan
oleh Majelis Arbitrase BANI, baik putusan sela ataupun putusan
akhir/final dan mengikat;
c. “BANI”
adalah Lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
d. “Dewan”
adalah Badan Pengurus BANI;
e. “Ketua”
adalah Ketua Badan Pengurus BANI, kecuali dan apabila jelas dinyatakan bahwa
yang dimaksud adalah Ketua Majelis Arbitrase. Ketua BANI dapat menunjuk Wakil
Ketua atau Anggota Badan Pengurus
yang lain untuk melaksanakan tugas-tugas Ketua sebagaimana ditetapkan dalam
Peraturan Prosedur ini, termasuk dalam hal tertentu untuk menunjuk satu atau
lebih arbiter, dalam hal mana rujukan kepada Ketua dalam Peraturan ini berlaku
pula terhadap Wakil Ketua atau Anggota Badan Pengurus yang lain yang ditunjuk
tersebut.
f. “Pemohon”
berarti dan menunjuk pada satu atau lebih pemohon atau para pihak yang
mengajukan permohonan arbitrase;
g. “Undang-Undang”
berarti dan menunjuk pada Undang-undang Republik Indonesia No. 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
h. “Termohon”
berarti dan menunjuk pada satu atau lebih Termohon atau para pihak terhadap
siapa permohonan arbitrase ditujukan;
i. “Para
Pihak” berarti Pemohon dan Termohon;
j. “Peraturan
Prosedur” berarti dan menunjuk pada ketentuan-ketentuan Peraturan Prosedur
BANI yang berlaku pada saat dimulainya penyelenggaraanarbitrase, dengan mengindahkan adanya kesepakatan
tertentu yang mungkin dibuat para pihak yang bersangkutan yang satu dan lain dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 1;
k. “Sekretariat”
berarti dan menunjuk pada organ administratif BANI yang bertanggung jawab dalam
hal pendaftaran permohonan arbitrase dan hal-hal lain yang bersifat
administratif dalam rangka penyelenggaraan arbitrase;
l. "Sekretaris
Majelis” berarti dan menunjuk pada sekretaris majelis yang ditunjuk oleh
BANI untuk membantu administrasi penyelenggaraan arbitrase bersangkutan; dan
m. “Tulisan”,
baik dibuat dalam huruf besar atau huruf kecil, adalah dokumen-dokumen
yang ditulis atau dicetak di atas kertas, tetapi juga dokumen-dokumen yang
dibuat dan/atau dikirimkan secara elektronis, yang meliputi tidak saja
perjanjian-perjanjian tetapi juga pertukaran korespondensi, catatan-catatan
rapat, telex, telefax, e-mail dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya yang
demikian; dan tidak boleh ada perjanjian, dokumen korespondensi, surat
pemberitahuan atau instrumen lainnya yang dipersyaratkan untuk diwajibkan
secara tertulis, ditolak secara hukum dengan alasan bahwa hal-hal tersebut
dibuat atau disampaikan secara elektronis.
Pasal 4. Pengajuan, Pemberitahuan Tertulis dan Batas Waktu
1. Pengajuan
komunikasi tertulis dan jumlah salinan.
2. Komunikasi
dengan Majelis.
3. Pemberitahuan.
4. Perhitungan
Waktu.
5. Hari-hari
Kalender.
6. Penyelesaian
cepat.
7. Batas
Waktu Pemeriksaan Perkara.
Pasal 5. Perwakilan Para Pihak
1. Para
Pihak dapat diwakili dalam penyelesaian sengketa oleh seseorang atau
orang-orang yang mereka pilih. Dalam pengajuan pertama, yaitu dalam Permohonan
Arbitrase Pemohon dan demikian pula dalam Jawaban Termohon atas Permohonan
tersebut, masing-masing pihak harus mencantumkan nama, data alamat dan
keterangan-keterangan serta kedudukan setiap orang yang mewakili pihak
bersengketa dan harus disertai surat kuasa khusus asli bermaterai cukup serta
dibuat salinan yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) di
atas yang memberikan hak kepada orang tersebut untuk mewakili pihak dimaksud.
2. Namun
demikian, apabila suatu pihak diwakili oleh penasehat asing atau penasehat
hukum asing dalam suatu perkara
arbitrase mengenai sengketa yang tunduk kepada hukum Indonesia, maka penasehat
asing atau penasehat hukumasing dapat hadir hanya apabila didampingi penasehat
atau penasehat hukum Indonesia.
Pasal 6. Permohonan Arbitrase
1.
Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan
Arbitrase oleh pihak yang memulai proses arbitrase (“Pemohon”) pada Sekretariat
BANI.
2. Penunjukan
Arbiter
3. Biaya-biaya
4. Pemeriksaan
perkara arbitrase tidak akan
dimulai sebelum biaya
administrasi dilunasi oleh para pihak sesuai ketentuan BANI.
Pasal 7. Pendaftaran
1. Setelah
menerima Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen serta biaya pendaftaran yang
disyaratkan, Sekretariat harus mendaftarkan Permohonan itu dalam register
BANI.
2. Badan
Pengurus BANI akan memeriksa Permohonan tersebut untuk menentukan apakah
perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase dalam kontrak telah cukup
memberikan dasar kewenangan bagi BANI untuk memeriksa sengketa tersebut.
Pasal 8. Tanggapan Termohon
1. Apabila Badan Pengurus BANI menentukan bahwa BANI
berwenang memeriksa, maka setelah pendaftaran Permohonan tersebut, seorang
atau lebih Sekretaris Majelis
harus ditunjuk untuk membantu pekerjaan administrasi perkara arbitrase
tersebut.
2. Sekretariat
harus menyampaikan satu salinan Permohonan Arbitrase dan dokumen-dokumen
lampirannya kepada Termohon, dan meminta Termohon untuk menyampaikan tanggapan
tertulis dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari.
3. Tanggapan
4. Perpanjangan
Waktu
Pasal 9. Yang berhak menjadi Arbiter
1. Majelis
Arbitrase
2. Arbiter
Luar
3.
Kriteria-kriteria
a. berwenang
atau cakap melakukan tindakan-tindakan hukum;
b. sekurang-kurangnya
berusia 35 tahun;
c. tidak
memiliki hubungan keluarga berdasarkan keturunan atau perkawinan sampai dengan
keturunan ketiga, dengan setiap dari para pihak bersengketa;
d. tidak
memiliki kepentingan keuangan atau apa pun terhadap hasil penyelesaian
arbitrase;
e. berpengalaman
sekurang-kurangnya 15 tahun dan menguasai secara aktif bidang yang dihadapi;
f. tidak
sedang menjalani atau bertindak sebagai hakim, jaksa, panitera pengadilan, atau
pejabat pemerintah lainnya.
4. Pernyataan
Tidak Berpihak.
5. Hukum
Indonesia.
Pasal 10. Susunan Majelis
1. Arbiter
Tunggal
Apabila Majelis akan terdiri dari
hanya seorang arbiter, Pemohon dapat, dalam Permohonan Arbitrase, mengusulkan
kepada Ketua, seorang atau lebih yang memenuhi syarat untuk direkomendasikan
menjadi arbiter tunggal. Apabila Termohon setuju dengan salah satu calon yang
diajukan Pemohon, dengan persetujuan Ketua, orang tersebut dapat ditunjuk
sebagai arbiter tunggal. Namun apabila tidak ada calon yang diusulkan Pemohon
yang diterima Termohon, dengan kekecualian kedua pihak sepakat mengenai suatu
Majelis yang terdiri dari tiga arbiter, Ketua BANI wajib segera menunjuk orang
yang akan bertindak sebagi arbiter tunggal, penunjukan mana tidak dapat ditolak
atau diajukan keberatan olehmasing-masing pihak kecuali atas dasar alasan yang
cukup bahwa orang tersebut dianggap tidak independen atau berpihak. Apabila
para pihak tidak setuju dengan arbiter tunggal, dan/atau Ketua menganggap
sengketa yang bersangkutanbersifat kompleks dan/atau skala dari sengketa
bersangkutan ataupun nilaituntutan yang disengketakan sedemikian rupa besarnya
atau sifatnya sehingga sangat memerlukan suatu Majelis yang terdiri dari tiga
arbiter, maka Ketua memberitahukan hal tersebut kepada para pihak dan diberi
waktu 7 (tujuh) hari kepada mereka untuk
masing-masing menunjuk seorang arbiter yang dipilihnya dan apabila tidak
dipenuhi maka ketentuan Pasal 10 ayat (3) dibawah ini akan berlaku.
2. Kelalaian
Penunjukan
3. Dalam
hal Tiga Arbiter
4. Jika
Jumlah Tidak Ditentukan
5. Banyak
Pihak
6.
Kewenangan Ketua BANI
7.
Penerimaan Para Arbiter
Pasal 11. Pengingkaran/Penolakan Terhadap seorang Arbiter
1. Pengingkaran
2. Penggantian
3. Kegagalan
Pengingkaran
4. Pengingkaran
Pihak Yang Menunjuk
Pasal 12. Penggantian Seorang Arbiter
1. Kematian
atau Cacat
2. Pengunduran
diri Arbiter
3. Kelalaian
Bertindak
4.
Pengulangan Pemeriksaan
Pasal 13.
Ketentuan-ketentuan Umum/Persidangan
1. Kewenangan Majelis
2.
Kerahasiaan
3.
Dasar Keadilan
4. Tempat
Sidang
Pasal 14. Bahasa
1. Bahasa Pemeriksaan
2. Bahasa Dokumen
3. Penerjemah
4. Bahasa Putusan
Pasal 15. Hukum Yang Berlaku
1. Hukum Yang
Mengatur
2. Ketentuan-ketentuan
Kontrak
3. Ex Aequo et Bono
Pasal 16. Surat Permohonan Arbitrase
1. Pengajuan
2. Syarat-syarat
a. Nama dan alamat para
pihak;
b. Keterangan tentang
fakta-fakta yang mendukung Permohonan Arbitrase;
c. Butir-butir
permasalahannya; dan
d. Besarnya tuntutan
kompensasi yang dituntut.
3. Dokumentasi
Pasal 17. Surat Jawaban Atas Tuntutan
1. Pengajuan
2. Syarat-syarat
3. Tuntutan
Balik
a. Apabila Termohon
bermaksud mengajukan suatu tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian
sehubungan dengan sengketa atau tuntutan yang bersangkutan sebagai-mana yang
diajukan Pemohon, Termohon dapat mengajukan tuntutan balik (rekonvensi)atau
upaya penyelesaian tersebut
bersama dengan Surat Jawaban atau selambat-lambatnya pada sidang pertama.
Majelis berwenang, atas permintaan Termohon, untuk memperkenankan tuntutan
balik (rekonvensi) atau upaya
penyelesaian itu agar diajukan
pada suatu tanggal kemudian apabila Termohon dapat menjamin bahwa penundaan itu
beralasan sesuai ketentuan-ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2) dan Pasal 16 ayat
(2) dan (3).
b. Atas
tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian tersebut dikenakan biaya
tersendiri sesuai dengan cara perhitungan pembebanan biaya adminsitrasi yang
dilakukan terhadap tuntutan pokok (konvensi) yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak berdasarkan Peraturan Prosedur dan daftar biaya yang berlaku yang
ditetapkan oleh BANI dari waktu ke waktu. Apabila biaya administrasi untuk tuntutan
balik (rekon-vensi) atau upaya penyelesaian tersebut telah dibayar para pihak,
maka tuntutan balik (rekonvensi) atau upaya penyelesaian akan diperiksa,
dipertimbangkan dan diputus secara bersama-sama dengan tuntutan pokok.
c. Kelalaian para pihak atau
salah satu dari mereka, untuk membayar biaya administrasi sehubungan
dengan tuntutan balik atau upaya penyelesaian tidak menghalangi ataupun menunda
kelanjutan penyelengga-raan arbitrase sehubungan dengan tuntutan pokok
(konvensi) sejauh biaya administrasi sehubungan dengan tuntutan pokok (konvensi)
tersebut telah dibayar, seolah-olah tidak ada tuntutan balik (rekonvensi)
atau upaya penyelesaian tuntutan.
4. Jawaban Tuntutan
Balik
Pasal 18. Yurisdiksi
1. Kompetensi
Kompetensi
2. Klausul Arbitrase
Independen
3. Batas Waktu
Bantahan
4. Putusan Sela
Pasal 19. Dokumen-Dokumen dan Penetapan-Penetapan
1. Prosedur
Persidangan
2. Penetapan-penetapan
prosedural.
3. Catatan.
4. Biaya harus
dibayar.
5. Putusan Sela
6. Sanksi-sanksi
Pasal 20. Upaya Mencari Penyelesaian Damai
1. Penyelesaian
Damai
2. Putusan
Persetujuan Damai
3. Kegagalan Menyelesaikan secara damai
Pasal 21. Kelalaian
Penyelesaian
1. Kelalaian
Pemohon
2. Kelalaian
Termohon
Pasal 22. Perubahan-perubahan dan Pengajuan-pengajuan Selanjutnya
1. Perubahan-perubahan
2. Pengajuan-pengajuan
lebih lanjut
Pasal 23. Bukti dan Persidangan
1. Beban
Pembuktian
2. Ringkasan
Bukti-bukti
3. Bobot
Pembuktian
4. Saksi-saksi
5. Biaya Para
Saksi
6. Sumpah
7. Penutupan
Persidangan
Pasal 24. Pencabutan Arbitrase
1. Pencabutan.
2. Pengembalian
Pembayaran Biaya-biaya.
Pasal 25. Putusan Akhir
Majelis wajib menetapkan Putusan akhir dalam waktu
paling lama 30 hari terhitungsejak ditutupnya persidangan, kecuali Majelis
mempertimbangkan bahwa jangka waktu tersebut perlu diperpanjang secukupnya.
Pasal 26. Putusan-Putusan Lain
Selain menetapkan Putusan akhir,
Majelis juga berhak menetapkan putusan-putusan pendahuluan, sela atau
Putusan-putusan parsial.
Pasal 27. Mayoritas
Apabila Majelis terdiri dari tiga
(atau lebih) arbiter, maka setiap putusan atau putusan lain dari Majelis, harus
ditetapkan berdasarkan suatu putusan mayoritas para arbiter.
Apabila terdapat perbedaan pendapat
dari arbiter mengenai bagian tertentu dari putusan, maka perbedaan
tersebut harus dicantumkan dalam Putusan.
Apabila diantara para arbiter tidak
terdapat kesepakatan mengenai putusan atau bagian dari putusan yang akan
diambil, maka putusan Ketua Majelis mengenai hal yang bersangkutan yang
dianggap berlaku.
Pasal 28. Penetapan-penetapan Prosedural
Untuk hal-hal yang bersifat
prosedural, apabila tidak terdapat kesepakatan mayoritas, dan apabila Majelis
menguasakan untuk hal tersebut, Ketua Majelis dapat memutuskan atas
pertimbangan sendiri.
Pasal 29. Pertimbangan Putusan
Putusan harus dibuat tertulis dan
harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasar Putusan tersebut,
kecuali para pihak setuju bahwa pertimbangan-pertimbangan itu tidak perlu
dicantumkan.
Putusan Majelis ditetapkan berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
Pasal 30. Penandatanganan Putusan
Putusan harus ditandatangani para
arbiter dan harus memuat tanggal dan tempat dikeluarkannya. Apabila ada tiga
Arbiter dan satu dari mereka tidak menandatangani, maka dalam Putusan tersebut
harus dinyatakan alasannya.
Pasal 31. Penyampaian
Dalam waktu 14 (empat belas) hari,
Putusan yang telah ditandatangani para arbiter tersebut harus disampaikan
kepada setiap pihak, bersama 2 (dua) lembar salinan untuk BANI, dimana salah
satu dari salinan itu akan didaftarkan oleh BANI di Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
Pasal 32. Final dan Mengikat
Putusan bersifat final dan mengikat
para pihak. Para pihak menjamin akan langsung melaksanakan Putusan tersebut.
Dalam Putusan tersebut, Majelis
menetapkan suatu batas waktu bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan Putusan
dimana dalam Putusan Majelis dapat menetapkan sanksi dan/atau denda dan/atau
tingkat bunga dalam jumlah yang wajar apabila pihak yang kalah lalai dalam
melaksanakan Putusan itu.
Pasal 33. Pendaftaran
Kerahasiaan proses arbitrase tidak
berarti mencegah pendaftaran Putusan pada Pengadilan Negeri ataupun
pengajuannya ke Pengadilan Negeri dimanapun dimana pihak yang menang dapat
meminta pelaksanaan dan/atau eksekusi Putusan tersebut.
Pasal 34. Pembetulan Kesalahan-Kesalahan
Dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari setelah Putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan ke
BANI agar Majelis memperbaiki kesalahan-kesalahan administratif yang mungkin
terjadi dan/atau untuk menambah atau menghapus sesuatu apabila dalam Putusan
tersebut sesuatu tuntutan tidak disinggung.
Pasal 35. Daftar Biaya
Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu
daftar terpisah dan terlampir pada Peraturan Prosedur ini. Daftar tersebut
dapat diperbaiki atau diubah dari waktu ke waktu apabila dipandang perlu oleh
BANI.
Pasal 36. Pembayaran Biaya
BANI harus menagih kepada setiap pihak
setengah dari estimasi biaya arbitrase, dan memberikan jangka waktu secepatnya
untuk membayarnya. Apabila suatu pihak lalai membayar bagiannya, maka jumlah
yang sama harus dibayarkan oleh pihak lain yang kemudian akan diperhitungkan
dalam Putusan dengan kewajiban pihak yang lalai membayar tersebut.
BANI atas permintaan Majelis yang
bersangkutan dapat meminta penambahan biaya dari waktu ke waktu selama
berlangsungnya arbitrase apabila Majelis menganggap bahwa perkara yang sedang
diperiksa atau besarnya tuntutan ternyata telah meningkat daripada yang semula
diperkirakan.
Pasal 37. Alokasi
Majelis berwenang menentukan pihak
mana yang harus bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian
pembayaran kepada pihak lain, untuk seluruh atau sebagian biaya-biaya itu,
pembagian mana harus dicantumkan dalam Putusan.
Pada umumnya apabila salah satu pihak
sepenuhnya berhasil dalam tuntutannya maka pihak lawannya memikul seluruh
biaya dan apabila masing-masing pihak berhasil memperoleh sebagian dari
tuntutannya, biaya-biaya menjadi beban kedua belah pihak secara proporsional.
Pasal 38. Biaya-biaya Jasa Hukum
Kecuali dalam keadaan-keadaan khusus,
biaya-biaya jasa hukum dari masing-masing pihak harus ditanggung oleh pihak
yang memakai jasa hukum tersebut dan biasanya tidak akan diperhitungkan
terhadap pihak lainnya. Namun apabila Majelis menentukan bahwa suatu tuntutan
menjadi rumit atau bahwa suatu pihak secara tidak sepatutnya menyebabkan
timbulnya kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan dalam kemajuan proses
arbitrase, maka biaya jasa hukum dapat dilimpahkan kepada pihak yang
menimbulkan kesulitan tersebut.
Pasal 39. Biaya-biaya Eksekusi
Biaya-biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh pihak yang
kalah dan yang lalai untuk memenuhi ketentun-ketentuan dalam Putusan.
5.
CONTOH KASUS
KASUS KARTIKA PLAZA VS AMCO
ASIA
Fakta – Fakta Hukum
Para Pihak
- Penggugat :
AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas :
1. Amco Asia
Corporation
2. Pan American
Development
3. PT. Amco
Indonesia
- Tergugat :
Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM)
Kasus Sengketa
Pencabutan izin
investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan
untuk jangka waktu 30 tahun.Namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika
baru memasuki tahun ke 9.
Duduk Perkara ( Kasus Posisi )
Kasus posisi
semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik
PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad).
Pada 1968,
Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco
Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plaza dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak
membuat perjanjian pembagian keuntungan
dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelola hotel itu,
dan menyetorkan separuh keuntungan kepadaWisma Kartika.
Tapi kerja sama
itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan.Kedua pihak
bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor keuntungan dan modal yang
harus disetor.
Puncaknya, pada
Maret 1980 pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaanAmco
Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah urus" dan
melakukan kecurangan keuangan.Amco Indonesia tak bisa menerima
"kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk
Kartika Plaza hamper US$ 5 juta. Kecuali
itu,Amco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah menyetorkan
keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400juta. Begitu pula pembagian
keuntungan untuk Wisma Kartika pada1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan.
Pada Juli 1980
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha AmcoIndonesia
karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan.,yang seharusnya
menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$1,4 juta.
Secara singkat
:
:
Tahun 1968
wisma kartika menandatangani kerjasama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco
Indonesia
Amco Indonesia
setuju untuk membangun Kartika Plaza dengan modal US$4 juta
Keduabelah
pihak membuat perjanjian pembagian keuntungan dan kontrak managemen berdasarkan
lease and management (profit-sharing) atas hotel kartika plaza.
Salahsatu
klausula dalam perjanjian itu adalah menyerahkan kepada ICSID bila muncul
sengketa dikemudian hari
Maret 1980,
wisma kartika mengambilalih pengelolaan kartika plaza karena menganggap amco
Indonesia telah salah manajemen dan melakukan kecurangan sehingga Indonesia
tidak mendapat bagian saham.
Pada Juli 1980
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha AmcoIndonesia
karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan
Hasil Putusan
Ketiga badan
hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase
ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah dirugikan dan diperlakukan secara tidak
wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di
Indonesia.Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi
penanaman modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Kasus sengketa
antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia telah
diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan
bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap
ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah
Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah
melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para
investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT.
Amco Indonesia. dengan arbiter Isl Foighel dari Danish dan Edward W. Rubin dari
kanada.
Dalam tingkat
kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari permohonan
Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat pertama yang
berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai dengan hukum
Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing
dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat
pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya
kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal
selfhelp) terhadap penanaman modal asing dengan arbiter Florentio P. Feliciano dari filipina dan
Andrea Giardina dari kanada.
Putusan tingkat
ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan
kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan
lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US
$ 3.200.000 pada tingkat pertama dengan arbiter Arghyrio A. Fatouros dari greek dan Dietrich
dari swiss.
Dalam sengketa
ini, persyaratan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada ICSID telah
terpenuhi, yaitu:
1. Para pihak telah sepakat untuk mengajukan sengketanya pada ICSID, hal
ini tercantum dalam salahsatu klausul dalam perjanjian antara Indonesia dan
Amco Asia
2. keduabelah pihak yang
bersengketa , yaitu Indonesia dan Amco Asia merupakan pihak yang telah
menandatangani konvensi
3.sengketa antara Indonesia dan
Amco asia ini merupakan sengketa penanaman modal (investasi).
6.
Kesimpulan
Proses beracara secara Arbitrase belum menjadi
pilihan Utama dari pada kebanyakan Orang bersengketa yang masuk rana Arbitrase,
ini merupakan ketidak tahuan atau kurangnya sosialisasi tentang Arbitrase itu sendiri. Semoga bermanfaat bagi
para penegak hukum, masyarakat dan para pembaca untuk mengetahui apa arbitrase
itu, apakah ada kaitan dengan peradilan hubungan industrial, dasar hukum
arbitrase, tata cara beracara di lembaga arbitrase dan contoh kasus yang ada.
Disusun Oleh Roy R. Pangkey, S.H.